Langit masih muram, sisa-sisa malam belum sepenuhnya berganti pagi. Udara luar menusuk dingin, kabut tipis menyelimuti perbukitan kecil di sisi desa. Jam dinding di ruang tengah rumah keluarga kecil itu baru menunjuk pukul 05.20 saat deru mesin terdengar di halaman. Inova merah merona milik Pa Boby perlahan melaju, meninggalkan jejak lampu belakang di antara kabut yang menggantung. Pagi itu ia harus tiba lebih cepat di sekolah. Ada rapat mendadak bersama pengawas kecamatan. Sejak semalam pesan dari kepala sekolah masuk lewat WhatsApp—rapat penting membahas akreditasi ulang sekolah mereka.
Di dapur, Bu Indah masih berkutat dengan piring-piring kotor dan sisa nasi goreng yang tadi sempat dimasak terburu-buru. Ia menghela napas panjang, lalu melirik ke arah jendela. Bias cahaya merah dari lampu mobil suaminya masih terlihat samar, kemudian hilang ditelan tikungan. Hatinya sedikit cemas. Jarak dari rumah ke sekolah tempat Pa Boby mengajar cukup jauh, sekitar 34 kilometer melewati perbukitan dan jalanan sempit berbatu.
“Pagi benar itu si ayah berangkat,” gumamnya pelan sambil mencuci piring. “Ada kerjaan mendadak kali ya…”
Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, suara langkah kaki terdengar dari arah kamar belakang. Kholik, anak sulung mereka yang kini duduk di bangku kelas dua SMP, muncul dengan rambut acak-acakan dan mata masih setengah tertutup. Ia berjalan menuju meja makan dan duduk sembari menguap lebar.
“Emangnya ayah masuk jam berapa, Bu?” tanyanya tanpa menoleh.
“Jam tujuh tepat,” jawab Bu Indah sambil terus mencuci piring. “Kenapa nanya?”
“Sekarang kan baru jam enam lewat. Wajarlah kalau ayah tancap gas pagi-pagi. Kan jauh perjalanannya. Tiga puluh empat kilometer itu bukan kayak jalan ke warung, Bu,” katanya sambil mengambil sepotong tempe goreng yang tersisa.
Bu Indah tersenyum kecil. Meski kadang sok dewasa, Kholik memang anak yang perhatian. Ia tahu ayahnya setiap hari harus menempuh jarak pulang pergi lebih dari enam puluh kilometer demi mengajar di sekolah menengah terpencil.
“Sudahlah, Kholik. Kamu mandi sana, siap-siap berangkat sekolah. Jangan lupa sarapan.”
“Iya, Bu.” Kholik bangkit dengan malas. “Uang sakunya taruh di tas aja, ya…”
“Iya… duit mulu,” sahut Bu Indah dengan nada menggoda. “Hemat dong. Ayahmu cuma PNS, gajinya bulanan, bukan tiap hari, loh.”
“Iya, iya…” Kholik berlalu menuju kamar mandi sambil menggaruk kepalanya.
Rumah itu sederhana, tapi hangat. Dindingnya dari papan, beberapa sudah mulai lapuk. Genteng di bagian dapur bocor kalau hujan deras. Tapi di situlah tawa dan cerita bersemayam. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka tetap saling menyayangi. Ada semangat yang tidak pudar. Ada cinta yang tak pernah surut.
Pa Boby bukan tipe laki-laki banyak bicara. Tapi tanggung jawabnya tak pernah main-main. Sebagai guru honorer yang akhirnya diangkat menjadi PNS setelah puluhan tahun menunggu, ia menjalani hari-harinya dengan ikhlas. Mobil Inova merah itu bukan mobil mewah. Ia beli bekas dari tetangganya yang pindah ke kota. Sudah sering mogok. Tapi tetap saja jadi andalan utama untuk menempuh jalan panjang menuju sekolah.
Di sekolah, Pa Boby adalah guru Matematika yang dikenal tegas tapi adil. Murid-murid hormat padanya. Ia jarang marah, tapi sekali marah, semua murid diam. Beberapa guru muda pun menghormatinya, bukan karena jabatan, tapi karena teladannya. Ia datang paling pagi dan pulang paling sore, sering membawa berkas soal dan lembar jawaban yang perlu diperiksa di rumah.
Sementara itu di rumah, Bu Indah menyiapkan bekal untuk anak bungsunya, Rani, yang masih TK. Nasi putih, telur dadar, dan sedikit abon ikan yang dibelinya di pasar kemarin. Rani masih terlelap. Nanti kalau sudah pukul tujuh, ia akan dibangunkan dan diantar ke sekolah oleh tetangga sebelah yang juga punya anak seumurannya.
Jam terus berdetak. Hidup terus bergerak. Di antara kabut pagi dan secangkir teh hangat yang mulai dingin, Bu Indah menyisipkan doa-doanya untuk sang suami: semoga selamat sampai sekolah, semoga tidak hujan deras hari ini, semoga ada kenaikan tunjangan bulan depan.
Dan Kholik, di kamar mandi, mulai bersiul pelan. Ia bukan anak yang manja. Tapi di balik keluhannya soal uang saku dan sarapan yang ‘itu-itu aja’, ia menyimpan kebanggaan besar kepada ayahnya. Ia sering bercerita kepada teman-teman sekolahnya, “Bapak gue ngajar di desa jauh loh, tiap hari nyetir pagi-pagi. Keren kan?”
Tidak banyak orang tahu kisah-kisah kecil dari rumah itu. Tapi bagi keluarga ini, setiap pagi buta adalah bagian dari perjuangan yang nyata. Dan dari sinilah semuanya dimulai.
---
Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di SMP terpencil, Pak Boby akhirnya menerima penugasan tambahan sebagai guru Matematika di SMA Tunas Bangsa. Jam mengajarnya kini terbagi dua—di sekolah asalnya dan di SMA negeri yang lebih besar itu. Sekolah ini letaknya lebih jauh, tapi fasilitas dan lingkungannya terasa berbeda. Lebih modern. Lebih sibuk.