DI BALIK TERALI DOSA

DENI IRWANSYAH
Chapter #2

Chapter tanpa judul #2 TAWA DIATAS KUKA

Pagi menjelang siang. Halaman depan rumah dinas tempat Bu Indah dan keluarganya tinggal sudah berubah jadi warung kecil dadakan. Meja panjang berisi gorengan panas berjejer rapi: pisang goreng, tahu isi, bakwan, serta panci besar berisi sop buntut yang menguar aroma sedap sejak pagi tadi.

Dagangan Bu Indah ramai luar biasa.

Ibu-ibu rumah tangga dari sekitar komplek berdatangan. Ada yang beli untuk sarapan, ada pula yang hanya mampir untuk duduk dan mengobrol.

“Bu, pisang goreng dua, ya. Bakwannya masih anget?”

“Wah, ini sopnya wangi banget, Bu Indah. Boleh minta kuahnya aja?”

Suara-suara riang itu jadi warna tersendiri di pagi yang cerah. Di bawah tenda kecil, ibu-ibu itu duduk bersila, menyeruput kuah sambil menggosip, seperti rutinitas wajib tiap pekan.

“Eh, kalian nonton nggak semalam?” celetuk Bu Retno sambil menyeruput sop buntut.

“Itu loh... si artis yang ketahuan selingkuh sama manajernya sendiri!”

“Ya ampun, parah banget!” sahut Bu Wiwik. “Padahal istrinya lagi ngidam!”

“Mungkin dia gak tahan. Katanya sih, istrinya sibuk terus. Dia jadi kesepian...” timpal yang lain.

Tawa mereka pecah.

Bu Indah ikut tersenyum. Tangannya sibuk menyendokkan kuah sop, tapi telinganya tak luput dari rumpian hangat itu.

“Makanya, kita para istri jangan terlalu cuek. Tetap harus tampil cantik walau cuma jualan gorengan!” ujar Bu Rina sambil bercermin kecil.

“Tapi yang cantik juga tetap diselingkuhin, Bu!” ucap Bu Indah ikut bergurau, membuat tawa kembali meledak.

Dari luar, Bu Indah terlihat bahagia.

Tapi di balik senyumnya, ada pikiran kecil yang menempel seperti bayangan tak mau hilang:

Kenapa sekarang ponsel Pak Boby selalu dikunci?

Dulu, ponsel itu dibiarkan begitu saja. Tak ada sandi. Tapi sekarang, layar ponsel itu gelap hanya dalam hitungan detik dan tak pernah lagi disentuh oleh tangan selain milik Pak Boby sendiri.

Bu Indah menepis pikirannya sendiri.

“Ah, masa sih... Ayah macam-macam?”

---

Menjelang sore, Pak Boby pulang seperti biasa. Inova merahnya berhenti di depan rumah. Ia masuk tanpa banyak bicara, seperti rutinitas yang sudah terbiasa. Tak ada gelagat aneh. Tapi juga tak ada kehangatan.

Di teras rumah, ia duduk sambil menatap layar ponselnya. Kadang mengetik. Kadang hanya melamun. Matanya sesekali melirik ke dalam rumah.

Bu Indah tengah menyetrika seragam anak-anak. Keringat membasahi pelipisnya, tapi ia tetap sibuk melipat baju dan menata semuanya rapi.

“Ayah, mau saya buatin kopi?” panggilnya dari dalam.

Tak ada sahutan.

“Yah? Mau kopi nggak?” ulangnya.

Masih diam.

“Ayah!”

Pak Boby tersentak, lalu menoleh. “Oh... iya, boleh. Ambil aja, ya...”

Bu Indah tersenyum tipis. Ia berjalan ke arah dapur, lalu kembali sambil membawa cangkir kopi.

“Rokoknya sekalian, Yah?”

“Bukannya rokoknya ada di sampingmu, Bu?”

“Iya... tapi kan Ibu nawarin kopi, bukan rokok.”

Mereka sama-sama tertawa kecil. Tapi tertawa yang tak menyambung perasaan.

Pak Boby menyeruput kopi dalam diam. Matanya tetap tertuju pada layar ponsel yang terus dikuncinya saat selesai digunakan.

Sementara Bu Indah diam. Tak ingin bertanya. Tak ingin tahu. Tapi hatinya mulai bertanya sendiri.

---

Malam harinya, anak-anak sudah tidur. Rumah mulai hening.

“Yah, anak-anak udah tidur semua. Yuk, masuk kamar. Besok kerja,” ucap Bu Indah lembut.

Di kamar, Bu Indah sudah bersiap. Ia mengenakan pakaian tidur terbaiknya. Wangi tubuh dan parfum halus memenuhi ruangan. Ia ingin malam itu terasa berbeda. Ia ingin dekat, seperti dulu.

Lihat selengkapnya