Hujan menderu di luar, memukul-mukul jendela kamar Clara seperti ribuan jari tak terlihat yang mencoba masuk. Setiap tetesan air yang menuruni kaca, seolah membawa serta bisikan-bisikan yang tak jelas, menambah berat atmosfer sore itu. Clara, dengan rambut cokelat sebahu dan mata yang biasanya berbinar penuh ide-ide desain, kini hanya menatap kosong ke arah rintik yang tak kunjung reda. Usianya baru 24 tahun, seorang desainer grafis muda yang nekat merantau ke ibu kota, mencari jejak mimpinya di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Apartemen kecilnya, yang dulunya terasa seperti surga pribadi, kini terasa sempit, pengap, dan anehnya, sangat dingin.
Sudah hampir satu jam ia duduk di sofa, memeluk bantal erat-erat, matanya terpaku pada layar laptop yang menampilkan berita daring. Bukan berita biasa yang ia baca setiap pagi, melainkan sebuah artikel yang mencekam, yang membuat darahnya berdesir dingin sejak ia menemukannya beberapa menit lalu. "Wanita Ditemukan Tewas Mengenaskan di Taman Kota, Diduga Korban Psikopat." Judul itu terpampang jelas, huruf-huruf tebal yang seolah berteriak di hadapannya.
Taman kota. Clara tahu persis taman mana yang dimaksud. Itu taman yang sering ia lewati saat pulang kerja, tempat ia sering melihat anak-anak bermain dan pasangan muda bercengkerama. Jaraknya tak sampai satu kilometer dari apartemennya. Dekat sekali. Terlalu dekat.
Detil-detil dalam artikel itu semakin memperparah kecemasannya. Korban, seorang wanita berusia sekitar 30-an, ditemukan dengan kondisi yang… tidak lazim. Kata-kata seperti "mutilasi," "simbol aneh," dan "kekejaman yang tak terbayangkan" berputar-putar di benaknya, membentuk gambaran mengerikan yang sulit ia usir. Polisi masih menyelidiki, tetapi spekulasi tentang pelakunya sudah mengarah pada satu kesimpulan: psikopat. Seseorang dengan pikiran yang menyimpang, tanpa empati, yang menikmati penderitaan orang lain.
Clara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu gila-gilaan. Ia selalu menganggap dirinya rasional, tidak mudah terpengaruh oleh cerita-cerita seram atau berita sensasional. Namun, kali ini berbeda. Ini terjadi di kota tempat ia tinggal, di lingkungannya sendiri. Rasa aman yang selama ini ia rasakan, perlahan mulai terkikis.
Ia mencoba mengalihkan perhatian, meraih ponselnya, berniat menelusuri media sosial atau menonton serial favoritnya. Tetapi, setiap kali ia mendengar suara pintu tetangga di lorong, atau langkah kaki yang melewati apartemennya, tubuhnya menegang. Ia bahkan melompat sedikit ketika sebuah bayangan gelap menari-nari di balik tirai kamarnya, disebabkan oleh pantulan lampu jalan yang baru saja menyala.
"Ini konyol, Clara," bisiknya pada diri sendiri, suaranya sedikit bergetar. "Kau terlalu banyak membaca berita."
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya rasa takut yang tidak rasional. Bahwa di kota sebesar ini, kemungkinan ia menjadi korban sangatlah kecil. Ribuan orang tinggal di sini, dan hanya segelintir yang terlibat dalam kejadian mengerikan seperti itu. Logika itu seharusnya menenangkan. Tapi entah mengapa, logika itu tak berlaku malam ini.
Pandangannya kembali ke jendela. Hujan mulai mereda, menyisakan jejak basah di jalanan dan aroma tanah yang khas. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya redup di genangan air, menciptakan pantulan yang berkedip-kedip. Tiba-tiba, ia melihatnya. Sosok samar berdiri di seberang jalan, di bawah naungan pohon besar. Hanya sesaat, seperti kilasan bayangan. Sosok itu tampak menatap lurus ke arah apartemennya. Clara segera menggosok matanya, lalu menatap lagi. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya pohon yang melambai pelan tertiup angin.
"Hanya ilusi," gumamnya, meskipun ada bagian kecil dari dirinya yang tidak percaya. Ia merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasinya, bahkan sebelum ia membaca berita itu. Sebuah perasaan aneh, seperti merinding di tengkuk, yang seringkali ia abaikan. Kini, perasaan itu datang lagi, lebih kuat, lebih nyata.
Ia bangkit dari sofa, berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecilnya. Ruangan ini, yang biasanya dipenuhi dengan sketsa-sketsa desainnya yang cerah dan berwarna-warni, kini terasa muram. Ia menyalakan semua lampu, berharap cahaya bisa mengusir kegelapan yang merayap di benaknya. Bahkan suara pendingin ruangan pun kini terdengar seperti desisan aneh.
Malam itu, Clara memutuskan untuk tidak keluar. Ia memesan makanan via aplikasi daring, berharap interaksi singkat dengan kurir bisa mengalihkan perhatiannya. Ketika makanan tiba, ia hanya membuka pintu sedikit, menyambar kotak makanan, dan menutupnya kembali secepat kilat. Ia bahkan tidak berani menatap wajah kurir itu terlalu lama. Ketakutan itu telah merasuki setiap inci dirinya.
Setelah makan, ia mencoba untuk bekerja. Ada proyek desain logo yang harus ia selesaikan. Ia membuka program desainnya, menatap layar yang kosong, tetapi pikirannya tak bisa fokus. Setiap garis yang ia coba buat terasa salah, setiap warna terasa hambar. Wajah wanita korban itu, dengan mata kosong, terus menghantuinya. Ia membayangkan bagaimana rasanya menjadi korban, terperangkap, tak berdaya. Sensasi mencekam itu membuatnya mual.