Di Balik Tirai

Christian Shonda Benyamin
Chapter #2

Email Tanpa Pengirim

Pagi datang, namun tidak membawa serta kedamaian yang Clara dambakan. Tidurnya yang singkat dan dipenuhi mimpi buruk tidak memberikan efek menyegarkan sama sekali. Bahkan, ketika matahari mulai mengintip dari balik tirai, sinarnya terasa dingin, tidak seperti kehangatan yang biasanya ia rasakan. Ia menyeret langkah ke dapur, membuat secangkir kopi hitam pekat, berharap kafein bisa mengusir kabut ketakutan yang masih menyelimuti pikirannya.

Deringan ponsel tiba-tiba memecah kesunyian. Clara terlonjak, kopi di tangannya hampir tumpah. Ia menatap layar, nama ibunya tertera di sana. Sebuah senyum tipis, campur aduk antara lega dan bersalah, terukir di bibirnya. Lega karena ada suara yang dikenalnya, bersalah karena ia tahu betapa cemasnya ibunya jika ia menceritakan apa yang ia rasakan.

"Halo, Bu," sapanya, berusaha agar suaranya terdengar normal.

"Clara? Kenapa suaramu serak sekali? Kau baik-baik saja?" Suara ibunya, seperti biasa, penuh perhatian.

"Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit pilek," bohong Clara. Ia tidak ingin menambah beban pikiran ibunya. "Bagaimana kabar Ibu dan Ayah?"

Mereka berbincang sejenak tentang hal-hal biasa: cuaca, harga sembako, dan rencana ibunya untuk menanam bunga baru di halaman. Clara berusaha fokus, menarik napas dalam-dalam setiap kali pikiran tentang berita semalam kembali menyeruak. Setelah menutup telepon, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketakutan itu tidak benar-benar pergi. Ia hanya tersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.

Ia memaksakan diri untuk mandi, berpakaian, dan bersiap untuk bekerja. Rutinitas adalah satu-satunya hal yang bisa memberinya sedikit rasa normalitas. Sebagai desainer grafis freelance, ia bekerja dari apartemennya, yang dulunya ia anggap sebagai kebebasan, kini terasa seperti penjara.

Laptop dihidupkan, email dibuka. Ia menelusuri kotak masuknya, membalas beberapa email klien, dan mengecek notifikasi dari platform desain. Lalu, di antara email-email biasa itu, ia melihatnya. Sebuah email aneh.

Subjeknya kosong. Tidak ada nama pengirim, hanya alamat email yang terdiri dari kombinasi huruf dan angka acak. Rasa ingin tahu bercampur was-was mendorongnya untuk membuka email itu.

Isinya hanya deretan angka.

15. 23. 08. 01. 14. 25.

Clara mengerutkan kening. Apa ini? Pesan sandi? Nomor undian? Atau hanya spam acak yang berhasil lolos dari filter? Ia menghabiskan beberapa detik mencoba memahami arti deretan angka itu, tetapi tidak menemukan petunjuk. Ia menghela napas, menganggapnya spam biasa. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol 'Hapus'.

Sepanjang hari, ia berusaha keras fokus pada pekerjaannya. Ia memaksa dirinya untuk tenggelam dalam warna, font, dan tata letak. Sesekali, ia melirik ke jendela, ke lorong, atau ke pintu apartemennya. Setiap kali ia mendengar suara langkah kaki dari luar, atau lift yang berhenti di lantainya, ia menegang. Paranoid. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya.

Malam harinya, setelah menyelesaikan beberapa proyek, Clara memutuskan untuk bersantai. Ia menyalakan televisi, mencari film komedi ringan, berharap bisa tertawa dan melupakan semua ketakutannya. Saat ia hendak membuka aplikasi streaming, sebuah notifikasi email muncul di sudut layar laptopnya.

"Satu email baru dari pengirim tak dikenal."

Jantung Clara berdesir dingin. Ia segera membuka kotak masuknya. Dan benar saja. Email aneh yang sama, dari alamat yang sama, dengan subjek kosong. Kali ini, deretan angkanya berbeda.

03. 19. 11. 05. 20. 08.

Dan di bawah deretan angka itu, ada lampiran. Clara ragu sejenak. Apa isinya? Virus? Atau sesuatu yang lebih buruk? Dorongan untuk mengetahui lebih kuat daripada rasa takutnya. Ia mengeklik lampiran itu.

Sebuah gambar muncul. Buram, gelap, dan mengerikan. Gambar itu adalah wajah seorang wanita. Matanya kosong, pandangannya hampa, dan ada bekas luka aneh di pipinya. Wajah itu tampak seperti milik korban berita semalam. Clara menahan napas. Ini bukan spam. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih pribadi, dan menakutkan.

Tangannya gemetar saat ia menutup gambar itu. Otaknya berputar cepat. Siapa yang mengirim ini? Bagaimana mereka tahu alamat emailnya? Dan mengapa mereka mengirimkan gambar ini, gambar korban pembunuhan, kepadanya?

Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini mungkin kebetulan. Mungkin pengirimnya adalah seorang jurnalis amatir yang ingin berbagi 'temuan'nya, atau seorang netizen iseng yang suka menyebarkan konten sensitif. Tapi kemudian, ia teringat deretan angka itu. Apa artinya?

Rasa penasaran yang bercampur ketakutan membuatnya kembali ke email pertama yang ia hapus. Ia membuka folder sampah, mencari email itu, dan menemukannya. Deretan angka yang pertama: 15. 23. 08. 01. 14. 25. Dan yang kedua: 03. 19. 11. 05. 20. 08.

Clara merasa ada pola. Angka-angka ini bukan acak. Ia mencoba mengaitkannya dengan alfabet, A=1, B=2, dan seterusnya.

Untuk deretan pertama:

15 = O

23 = W

08 = H

01 = A

14 = N

25 = Y

OWHANY. Tidak masuk akal.

Ia mencoba metode lain. Mungkin ini koordinat? Tanggal? Atau… waktu? Ia mencoba berbagai kombinasi, tetapi tidak ada yang menghasilkan makna yang jelas. Ketakutan itu semakin merayap, mencengkeram.

Malam itu, Clara tidak bisa tidur sama sekali. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah wanita dalam foto itu muncul. Ia membayangkan pengirim email itu berada di suatu tempat, mengamatinya, menikmati ketakutannya. Ia merasa seperti sedang berada di dalam film horor, tetapi ini adalah kenyataan.

Keesokan harinya, email aneh kembali masuk. Kali ini, subjeknya masih kosong, tetapi ada dua lampiran. Deretan angkanya: 09. 12. 05. 01. 04. 19. 05. 03. 18. 05. 20.

Clara membuka lampiran pertama. Sebuah foto lagi. Kali ini, wajah seorang pria paruh baya, juga dengan mata kosong dan ekspresi hampa. Ada bercak gelap di lehernya, seperti bekas cekikan. Ia tidak pernah melihat pria ini di berita. Apakah ini korban lain? Atau hanya foto acak yang diambil dari internet?

Kemudian, ia membuka lampiran kedua. Foto itu membuat jantungnya berhenti berdetak. Itu adalah foto apartemennya. Lebih tepatnya, jendela apartemennya, diambil dari sudut yang sangat spesifik, seolah-olah pengambil gambar berdiri di gedung seberang, atau bahkan di taman kota. Ia bisa melihat tirai kamarnya, vas bunga di ambang jendela, bahkan beberapa buku yang ia letakkan di dekatnya.

Napas Clara tercekat. Ini bukan netizen iseng. Ini bukan jurnalis amatir. Seseorang sedang mengawasinya. Seseorang tahu di mana ia tinggal, dan tahu detail kecil tentang apartemennya. Ketakutan yang ia rasakan semalam, kini berubah menjadi kepanikan murni.

Ia segera berlari ke jendela, mengintip dari balik tirai. Ia melihat gedung-gedung di seberang, taman kota di kejauhan. Tak ada siapa-siapa yang mencurigakan. Namun, ia tahu, pengirim email ini pasti ada di sana, di suatu tempat. Dekat sekali.

Ia memeriksa lagi deretan angka yang baru.

09. 12. 05. 01. 04. 19. 05. 03. 18. 05. 20.

Ia kembali mencoba metode alfabet.

09 = I

12 = L

Lihat selengkapnya