Langit London pagi itu seakan lukisan yang tak hendak luntur—biru pucat dengan semburat jingga tipis di sisi timur, menyelimuti kota dalam kesan keanggunan yang membisu. Jalanan kota mulai ramai, tapi tak gaduh. Trotoar berkilau tipis oleh embun yang belum sempat menguap, dan udara membawa aroma kopi, roti panggang, serta wangi parfum pejalan kaki berjas tebal. Musim gugur di Inggris memang selalu seperti itu: melankolis, tetapi memabukkan dalam cara yang tak bisa dijelaskan.
John Alverton duduk di kursi kayu coklat tua di teras apartemennya yang menghadap ke Jubilee Park, secangkir kopi hitam mengepul di genggamannya. Kemeja putih dan celana kain abu-abu yang ia kenakan masih rapi, meski dasinya belum terikat. Ia belum ingin masuk ke dunia bising yang menantinya di lantai 27 Canary Wharf.
Bekerja sebagai analis pasar senior di Barrow & Colton Capital, salah satu firma investasi yang cukup dihormati di London, menjadikan hidup John seakan sempurna di mata banyak orang: gaji tinggi, reputasi bersih, dan relasi luas. Namun pagi ini, pikirannya tak sepenuhnya berada di halaman laporan pasar yang baru ia baca.
Pikirannya justru melayang ke sebuah nama.
“Rica Armand,” gumamnya lirih.
Satu minggu lalu, ia tak sengaja melihat nama itu muncul di kolom opini sebuah situs berita keuangan alternatif—situs yang biasanya tak ia sentuh. Artikel itu tajam, akurat, dan penuh dengan rasa marah yang teredam. Rica, sang jurnalis ekonomi, menulis tentang gelombang saham 'aneh' yang melonjak tanpa dasar fundamental. John mengenal pola itu. Tapi lebih dari itu, ia seperti mengenal nada tulisan Rica—seperti suara lama yang dulu sempat nyaris terlupakan.
Mereka pernah kuliah di universitas yang sama, meski beda jurusan. Pernah pula duduk berdampingan di satu seminar yang membahas ekonomi pasca-krisis global. Pernah bertukar email, secangkir kopi, bahkan diam yang aneh di perpustakaan pusat. Namun hidup memisahkan mereka dengan cara yang terlalu biasa: kesibukan, karier, dan jarak emosional yang tak sempat dijembatani.
“Hari ini harusnya biasa saja,” kata John pada dirinya sendiri, mencoba menyeka keraguan. Tapi ia tahu, sejak membaca artikel Rica itu, hidupnya tak akan lagi serupa.
Ia berdiri, menyeruput kopi hingga habis, lalu masuk ke dalam. Ruangan apartemennya teratur. Dingin, tetapi bersih. Hanya sebuah lukisan kota tua di Paris dan potret hitam-putih ayahnya yang memberinya rasa ‘hidup’. Meja kerja di dekat jendela penuh dengan tumpukan laporan saham, grafik pergerakan indeks, dan sticky notes berisi kode-kode saham yang sedang hangat di pasar.