Café Bellamy telah sepi ketika John dan Rica keluar malam itu. Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah dan pantulan lampu kota di sepanjang trotoar. Mereka berjalan berdampingan tanpa banyak bicara. Rasanya aneh—setelah sekian lama, mereka berdiri begitu dekat, namun apa yang ingin diucapkan justru menumpuk di dada.
“Masih ingat waktu kita berdebat soal pasar bebas?” tanya Rica, suaranya nyaris seperti bisikan, melawan hembusan angin malam.
John menoleh, tersenyum kecil. “Aku lebih ingat kamu menyebutku ‘naif’. Dan aku masih ingat kamu membawa tiga artikel dan satu print jurnal sebagai ‘bukti’. Sangat Rica.”
Rica menahan tawa, lalu menatapnya sejenak. “Dan kamu? Masih idealis?”
John menghela napas. “Mungkin. Tapi sekarang aku lebih suka bilang: realistis dengan radar kecurigaan tinggi.”
Mereka berhenti di jembatan kecil yang membentang di atas kanal, lampu-lampu di sekeliling menciptakan bayangan panjang. Rica bersandar di pinggir jembatan, memandang air yang bergerak pelan.
“Aku tahu RavenTech bukan satu-satunya,” katanya, tanpa menoleh. “Tapi dari semua yang aku telusuri… mereka yang paling berani.”
John berdiri di sebelahnya. “Aku sudah bandingkan pola pergerakan harga mereka dengan empat saham teknologi lain. Ada korelasi tinggi antara pergerakan harga dan arus transaksi anonim yang masuk lewat ECN—electronic communication networks—yang biasanya hanya diakses oleh institusi. Tapi ini bukan institusi biasa.”
“Kamu bilang... seperti ada ‘inteligensia pasar’ yang tahu kapan sentimen akan berubah?” tanya Rica pelan.
“Bukan hanya tahu,” jawab John, menatap ke arah air, “mereka yang menciptakan sentimen itu.”
Rica menggigit bibirnya. “Aku punya dokumen... bocoran dari seorang mantan analis Ardent Falcon. Dia bilang mereka punya sistem bernama Spectra. Bukan sekadar AI trading system, tapi sebuah alat yang bisa membaca pola perilaku publik dari media sosial, forum investor, bahkan dark web. Dan lebih dari itu... mereka bisa memanipulasi narasi sebelum pasar menyadarinya.”
John menatapnya lekat. “Kamu serius?”
“Serius. Tapi aku tidak pernah bisa publish. Terlalu banyak tekanan. Redaksi bilang aku harus punya ‘data keras’ bukan hanya dokumen internal. Aku yakin, RavenTech adalah proyek mereka. Sebuah ujicoba.”
John membuka laptop tipis yang dibawanya dalam tas kulit hitam. Di atas bangku taman dekat jembatan, di bawah pohon yang mulai menggugurkan daun-daunnya, ia menunjukkan grafik-grafik. Tangannya cepat dan terlatih, seperti pianis yang tahu not-not emosional dari sistem pasar.
“Lihat ini. Volume transaksi tiga menit sebelum lonjakan harga. Tidak wajar. Tapi bukan hanya itu... di saat yang sama, akun-akun bot Twitter mulai memposting narasi positif tentang RavenTech. Sama persis waktunya. Itu bukan kebetulan.”