Di Bawah Bendera Sarung

Mizan Publishing
Chapter #2

Mengamati Anak Kecil

Jujur itu perbuatan baik, tapi kalau mengatakan kejujuran pada tempat yang salah itu bisa jadi kurang ajar. Contohnya, ada orang jelek, terus ada orang yang bilang dengan jujur di depan mukanya, “Jelek banget lo!” Itu penghinaan.

Walaupun fakta mengatakan bahwa muka orang itu ancur, gue yakin dia nggak mau ada seorang pun di dunia ini yang mengatakan hal itu di depannya. Itu melukai egonya. Tapi, kejadiannya mungkin akan berbeda kalau yang ngomong itu anak kecil bergigi jarang bernama Nizam, mungkin yang denger bisa ketawa. Atau terpaksa ketawa.

Anak kecil memang selalu diberikan privilege untuk mengatakan semua hal sejujurjujurnya. Ponakan gue yang balita pernah ngomong gini waktu lihat ada orang didorong pake kursi roda di rumah sakit, “Ih, enak banget ya didorongdorong. Aku mau ikut, dong!”

Dan bapak yang di kursi roda itu malah senyum dan nawarin dia naik kursi roda. Coba kalo gue yang ngomong, mungkin bisa disumpahin cacat. Untung dia cuma mau naik kursi roda, gimana kalo ponakan gue bilang gitu waktu liat orang di dalem peti mati, “Ih enak ya di dalem peti. Aku mau ikut, dong!”

Dan tibatiba yang di dalem peti bangun dan bilang, “Enak aja! Sempit tahu!”

Ada satu lagi kelakuan anak kecil yang terkadang ngeselin: bertanya tentang apa pun. Seperti pertanyaan yang sering diajukan anak kecil, “Adek bayi itu kok bisa masuk ke perut Bunda, ya?” atau “Ma, Tuhan itu ada di mana?” atau “Bro, cewek lo boleh juga!”

Oke, yang terakhir itu anak kecil kebanyakan bergaul sama preman pasar.

Sebenernya bertanya itu merupakan tanda kecerdasan seorang anak, tapi apa jadinya kalau mereka menanyakan segala hal? Bagaimana kalau setelah nonton Naruto, mereka bertanya tentang di mana rumah Naruto dan minta diantar ke sana. Atau pertanyaan yang mungkin bisa bikin Masashi Kishimoto, si Pengarang Naruto, garukgaruk tanah, “Apakah Elemen Api dan Angin hanya bisa disemburkan lewat mulut? Bisa gak disemburkan lewat pantat?”

Orangtua juga nggak kalah absurdnya ngadepin anakanak mereka. Kita tentu sering mendengar mereka membohongi dan menakutnakuti anakanak mereka. Mulai dari kebohongan standar seperti, “Nak jangan main jauhjauh, nanti dibawa Mak Lampir.” Atau “Kalau nakal nanti disunat Pak Erte, lho!” Sampai yang paling sangar, “Kalo kamu terus nangis, nanti mulut kamu bisa jadi sebesar Bundaran HI!”

Nyokap gue sendiri dulu selalu bilang gini kalo gue males makan, “Nanti kalo nggak mau makan ditangkep polisi, lho!”

Dan gue pun makan karena takut ditangkep polisi. Setelah dewasa, gue baru sadar, untuk menilang orang, polisi nggak peduli lo udah makan apa belum. Dan lo nggak bisa bilang, “Jangan tangkep saya, Pak. Saya sudah makan!” waktu lo ketangkep basah bawa narkoba.

Gue juga pernah lihat ada orangtua yang ngeliat anaknya jatuh kesandung terus dibangunin dan bilang, “Aduh, Sayang … sakit nggak? Mana kodoknya biar Mamah pukul?!” Kemudian ibunya mukulmukul lantai.

Ada tiga kesalahan dari kebohongan itu. Yang pertama, kalo yang salah kodok kenapa yang dipukul lantai? Kedua, bagaimana cara kodok bikin orang jatuh? Yang terakhir, NGAPAIN JUGA LO NGASIH KODOK BUAT MAENAN!

Sering juga orangtua menjadikan anak mereka sebagai topik pembicaraan di segala situasi. Mungkin benar kalo ada orang yang bilang, “You have kids and you lose all sense of social decency.”

Ini bisa diamati kalo lagi ngobrol dengan ibuibu yang baru punya anak balita. Mereka selalu saja ngomongin anaknya. Ya, semua hal bisa dikaitkan dengan anaknya bahkan yang nggak nyambung sekalipun.

“Hah? Emang artis itu ditangkep BNN, ya? Semoga anak saya nanti kalo udah gede bergaul sama kawankawannya yang baik. Eh, anak saya tuh ya kalo lagi tidur tuh suka gulang guling gak keruan gitu, lho. Mau lihat fotonya?”

Dan obrolan selanjutnya adalah tentang anaknya. Tentang anaknya yang baru bisa jalan lah, tentang anaknya yang takut badut lah. Dalam 15 menit, gosip tentang artis yang ditangkep BNN bisa berubah jadi cerita tentang bagaimana mengatasi sembelit pada anak. Belum lagi segala macam foto dan video anaknya yang menuhmenuhin dinding facebook. Yes, you lose all sense of social decency.

***

Gue sendiri nggak benci anak kecil, terbukti gue punya empat orang adik, yang dua di antaranya berbeda umur cukup jauh, yang sangat gue sayangi. Salah satunya bernama Adil. Adik bontot gue itu lahir waktu gue kelas dua Aliyah, dan waktu itu gue mengira dia adalah anak yang dipungut di depan rumah. Tapi tentu gue salah, karena ketika dia tumbuh makin dewasa, ternyata dia mirip kakek buyut kita yang dulu, Meganthropus Paleojavanicus.

Adil juga selalu punya pikiran yang nggak bisa ditebak. Waktu dia berumur lima tahun, gue nanya ke dia tentang tikus yang sering berkeliaran di rumah, “Dek, Abang mao ngeracunin tikus, nih! Umpannya apa, ya?”

Adil menjawab tangkas, “Kasih kabel aja, Bang! Itu kabel di rumah aja pada digigitgigit.”

Lihat selengkapnya