Lulus sekolah adalah saat ketika masa depan terpampang jelas.
Gue tinggal di pondok pesantren sejak Tsanawiyah sampai Aliyah. Enam tahun. Itu masa yang nggak bisa dibilang sebentar, kecuali kalau dibandingkan dengan lamanya Indonesia nggak juara AFF.
Setelah enam tahun yang mengesankan itu, gue lulus.
“Mo nerusin kuliah ke mana, Mi?” tanya Edo kawan karib gue.
“Belom tahu, nih. Kayaknya gue nggak nerusin kuliah,” jawab gue pelan. Sebagian besar kawan gue berencana meneruskan kuliah. Tapi, dengan kemampuan keluarga yang paspasan dan orangtua gue yang harus biayain sekolah empat adik gue yang lain, anganangan gue untuk kuliah sepertinya harus ditunda.
“Trus rencana lo, apa?” kata dia kemudian.
“Mungkin cari kerja.”
Nggak lama setelah lulus, Edo masuk Universitas Islam Negeri. Sementara gue masih luntanglantung ngumpulin kardus buat dikiloin. Suatu hari, gue nginep di kosan Edo. Pagi harinya,
dia ngajak gue pergi ke kampus.
“Ah, gue, kan, bukan mahasiswa, Do.” Gue raguragu.
“Santai aja. Mahasiswa di sini ada ribuan, Man. Gak bakal ketahuan kalo satu orang cebol kayak lo masuk kelas.”
“Ah, garing becanda lo ....”
“Iya, iya, sorry. Udah ikut aja. Percaya deh sama gue, gak bakal ketahuan. Kita duduk paling belakang.”
Lima belas menit kemudian, gue sudah duduk di kelas mengikuti mata kuliah. Dan gue nggak hentihentinya berdoa supaya dosen yang ngajar nggak mengenali gue sebagai salah satu tukang panggul Pasar Induk.
Ya, ternyata untuk bisa kuliah itu nggak butuh uang, yang lo butuhin cuma sok akrab. “Jadi setiap ada yang nanya, bilang aja lo anak baru.” Begitu Edo memberi instruksi.
Tapi gue sadar, gue nggak bisa selamanya begitu. Dan, pengalaman di kelas itu membuat gue semangat untuk meneruskan kuliah. Ya, gue harus cari kerja dan mengumpulkan uang untuk kuliah.
***
Mencari kerja dengan hanya berbekal ijazah Aliyah bukan perkara yang mudah. Apalagi yang gajinya lima puluh juta.
Waktu kelas dua Aliyah, seorang guru pernah menyampaikan sebuah hadis Rasul, “Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersabda: ‘Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jualbeli yang bersih.’”
Imam Nawawi, salah seorang ulama besar Islam, mengatakan bahwa di antara pekerjaan tangan yang paling baik dan paling utama ialah bertani. Bertani mengajarkan untuk tawakal. Pekerjaan ini juga nggak hanya berorientasi untuk memperoleh keuntungan pribadi, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan orang lain.