Di Bawah Kubah Surga

Mishka si Beruang
Chapter #2

Di Antara Kehidupan dan Ketiadaan

Begitu aku membuka kedua mataku, langit biru adalah hal pertama yang kulihat. Aroma yang merasuk indera penciumanku sungguh familiar namun aroma itu bercampur aroma tanah. Seluruh tubuhku kaku tidak bisa bergerak, seolah ditahan di sisi kiri dan kanan. Aku menggerakkan bola mataku untuk melihat ke sekeliling dan yang kulihat adalah....

....tanah?

Dinding tanah yang dingin.

Seolah tersadar aku dengan cepat terperanjat dari posisi tidur dan melihat dengan cepat ke sekeliling bahkan ke atas.

Tanah, peti, aku yang menggunakan setelan hitam. Ini adalah liang kubur!!

Pikiranku langsung dipenuhi pertanyaan dan kebingungan dengan cepat, berusaha keras untuk memahami apa yang sedang terjadi. Aku dikubur? Tunggu, ini memang seharusnya sudah terjadi karena aku sudah mati, kan? Tapi kenapa aku masih hidup? Apa aku sedang dikubur hidup-hidup? Apa orang-orang tidak tahu aku selamat dari upaya bunuh diri?

Tapi ketika aku melihat ke atas, aku tidak melihat ada orang-orang yang berkumpul. Tidak mungkin mereka membiarkan mayat dengan kondisi peti dan galian tanah terbuka.

Merasakan hal-hal yang janggal, aku memanjat ke atas. Begitu aku tiba di permukaan, yang kulihat bukanlah pemakaman ataupun sekumpulan orang yang menguburku, tapi pemandangan yang sangat tidak asing.

Rumahku.

Hanya saja terlihat berbeda dari terakhir kali aku mengingatnya, suram, tidak terawat, gelap. Rumah yang aku lihat saat ini sangat... Berbeda. Persis rumah yang ku rindukan, saat Amelia dan anak-anak masih ada. Hidup, hangat, bercahaya, aroma manis familiar yang membangkitkan nostalgia dan rindu.

Aku melihat ke bawah di mana liang kubur digali di halaman depan rumahku. Apakah mereka menguburku di sini? Tapi jika ku perhatikan sekelilingku, tempat ini tetaplah aneh.

Area rumah ini cerah dan hangat, namun dikelilingi kabut yang pekat. Terbesit di pikiranku kalau aku sudah mati dan sekarang berada di Surga. Atau Neraka? Yang jelas adalah alam baka.

Mungkin?

Berjalan menuju rumahku, aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Tempat ini persis seperti saat dulu. Cahayanya, kehangatannya, aromanya. Sungguh sama persis.

Aku berjalan menuju ruang makan yang bergabung dengan dapur dan ruang tamu serta ruang keluarga. Ingatan masa lalu seolah terproyeksi di ruangan ini. Aku yang duduk bekerja di sofa ruang tamu, Amelia yang mengambil makanan dari oven, William dan Elizabeth kecil yang berkejar-kejaran mengitari seluruh ruangan.

Oh, anak-anak itu memang sungguh nakal. Tapi mereka tidak pernah berbuat masalah. Amelia menegur mereka untuk tidak berlarian dan aku menangkap mereka berdua kemudian menggelitik mereka bergantian dalam pelukanku. Tawa itu terasa nyata di telingaku.

Aku tersenyum getir. Rasa sedih dan rindu merasuk ke hatiku sembari aku berjalan menuju sofa yang biasa aku tempati. Aku duduk sambil menghadap jendela besar di sampingku, cahaya matahari menyusup masuk di balik tirai putih yang berkibar lembut.

Apa ini Surga? Karena tempat ini sungguh indah dan membuatku bahagia.

"Di mana kalian?" Aku bergumam.

"Kau tidak akan bisa bertemu mereka."

Suara dingin yang dalam milik seorang wanita mengejutkanku hingga aku melompat berdiri dari sofa. Aku mencari-cari sumber suara, namun tidak berhasil. "Siapa di sana? Tunjukkan dirimu!" Aku berseru ke seluruh ruangan.

Suara hak sepatu tinggi terdengar dari Foyer di sebelah ruangan aku berada. Langkah pelan yang terdengar membuatku gugup. Ini adalah tempat di mana seharusnya tidak ada orang lain! Bukankah begitu?

Sosok seorang wanita muncul dari balik dinding. Wajahnya pucat; warna matanya seperti langit malam dan mengkilat, sayu terlihat lelah namun menusuk, dan ada lingkaran hitam juga; rambutnya lurus dan panjang bewarna hitam; dia mengenakan jas panjang bewarna hitam, kedua tangan berada di dalam saku sembari ia berjalan, dan boots dengan hak tinggi bewarna sama; dari penampilannya dia terlihat seperti lebih muda dariku. Akhir dua puluhan?

"Siapa kau?! Bagaimana kau bisa ada di sini?!" Aku berseru mengambil posisi waspada.

Wanita itu mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya, begitu ia membuka, ia berbicara, "Luca Davis, putra dari Phillip Davis dan Ivy Hall. Lahir di Cambridge, 19 Februari 1988. Meninggal di Cambridge, 13 Desember 2024. Penyebab kematian, bunuh diri. Keterangan, overdosis," setelah menyebutkan itu, ia menutup buku sehingga suaranya terdengar keras dan menyimpannya kembali ke saku jas-nya. "Kau sangat berani untuk mengambil nyawamu sendiri," Ia memandangku dengan datar, namun suaranya dingin menusuk seperti hujan di musim dingin.

Dadaku naik turun mencoba untuk menenangkan diri, "Aku tanya sekali lagi. Siapa kau?"

"Azalea, seorang Penuai,"

"Penuai? Seperti... Grim Reaper?"

"Seperti itu,"

"Bukankah kalian semua... Menggunakan tudung?" Aku bertanya namun hanya mendapatkan diam sebagai jawaban dan tatapan tajam. Aku menggeleng, "Baiklah, kalau begitu, di mana aku? Apa maksudnya aku tidak akan bisa bertemu mereka? Dan, jika kau memang Grim Reaper, bukankah kau seharusnya mendatangiku sebelum aku mati?"

"Satu per satu," kata Azalea. "Pertama, tempat ini adalah Twilight Hollow. Bukan di surga ataupun neraka. Tempat pemberhentian sementara untuk jiwa manusia sepertimu,"

"Sepertiku?"

Azalea mengambil langkah mendekatiku, suara hak tingginya kembali bergema membuatku tanpa sadar mengambil langkah mundur. Wanita ini terlihat lemah, tapi aku bisa katakan auranya mengintimidasi, "Kau pasti... tidak asing dengan makhluk sepertiku, kan?" Aku memandangnya lekat-lekat sambil menelan ludah. "Kau pernah didatangi oleh Penuai, bukan?"

"...bagaimana kau tahu?"

"Tahun 2015 kau seharusnya mati," ucapnya ketus seperti sebuah serangan, "tapi kau bisa melihat salah satu dari kami dan meminta perpanjangan waktu hidup. Artinya, kau memiliki kemampuan spiritual lebih dibandingkan manusia kebanyakan. Maka dari itu, alih-alih surga atau neraka, kau dimasukkan ke Twilight Hollow,"

"Untuk apa?"

"Menjadi Penuai seperti kami,"

Aku tertawa getir, "Aku menolak. Aku tidak ingin menjadi Penuai atau apapun itu. Aku hanya ingin kembali bersama keluargaku,"

Azalea mendengus kesal dan tiba-tiba dia muncul tepat di belakangku dan menggenggam bahuku. Aku berlutut karena kesakitan dan merasakan beban yang sangat berat dari tempat ia mencengkeram "Kau meminta hidupmu diperpanjang dan setelah permintaan itu dikabulkan kau ingin alam baka? Jangankan Surga, Nerakapun tidak akan menerima dirimu," suaranya dalam dan tajam membuatku merinding. "Kau pikir menjaga semesta agar tetap seimbang setelah memperpanjang umur manusia itu mudah? Apa kau tidak diberitahu bahwa ada harga yang harus kau bayar? Dasar tidak tahu berterima kasih,"

Perkataan Azalea membuatku teringat pada saat itu. Seorang Penuai menyebutkan bahwa ada harga yang sangat mahal yang harus kubayar, meski aku tidak tahu apa karena ia tidak menyebutkannya. Apakah ini maksud dari perkataannya saat itu? "Baiklah! Baiklah! Aku mengerti! Aku minta maaf!" 

Azalea melepaskan cengkramannya dan aku langsung menjauh darinya.

Setelah diam sambil menatapku lekat-lekat, ia kembali berbicara. Tangan yang dibalut sarung tangan hitam kembali ke saku jas, "Twilight Hollow," katanya, "Adalah tempat pemberhentian sementara untuk jiwa manusia sepertimu ketika meninggal. Di sini kau akan dijemput oleh Penuai sepertiku untuk diantar ke tempat selanjutnya," ia melihat ke sekeliling, "ia akan menyerupai tempat yang jiwa itu paling sukai dan sangat berharga-"

Mendengar itu mataku membelalak, wajahku memerah, "Itu terdengar seperti pelanggaran privasi," desisku.

"Responmu adalah hal yang wajar. Twilight Hollow bisa sangat bersifat personal bagi sebagian orang sehingga ketika ada Penuai yang datang, rasanya seperti pelanggaran privasi mereka," katanya datar.

"Lalu," ia melanjutkan"Aku peringatkan kau untuk lebih sopan ketika berbicara dan berperilaku kepadaku. Juga, jangan sekali-kali memotong pembicaraanku," ucapnya seperti memperingatiku. Aku memandang ke lantai, entah kenapa tidak berani memandang mata itu.

"Tentang keluargamu, kau tidak bisa bertemu dengan keluargamu karena kau berada di dimensi dan langit yang berbeda dengan mereka. Mereka sudah di alam baka, sementara kau akan mendiami dimensi dan langit antara dunia manusia dan akhirat sebagai Penuai."

Aku mengerjapkan mataku tidak percaya. "Apa?" Aku ingin berteriak apa yang ia katakan benar atau tidak. 

Angin yang berasal dari mana tiba-tiba berhembus kencang, gumpalan bulu hitam seperti dari sayap gagak datang dan mengerubungi tubuhnya. Dengan datar ia berbicara, "Silahkan nikmati waktumu di sini sepuasnya. Ini adalah belas kasih terakhir dari Tuhan yang bisa diberikan kepada jiwa sepertimu. Setelah itu, keluar dari sini dan bertanggungjawablah atas permohonanmu, Luca Davis."

Hembusan angin dengan bulu gagak yang mengerubungi tubuh Azalea menghilang, begitupula dengan dirinya. Seketika, ruangan itu kembali hening dan hangat seperti awal. Hanya saja, atmosfer terasa lebih berat. Aku melempar diriku dan menghela nafas panjang yang berat. Mengusap wajahku dan menatap langit-langit, perkataan pertama tiba-tiba Azalea melintas di pikiranku, "Kau tidak akan bisa bertemu mereka". Apakah itu benar? Apakah tidak bisa dibicarakan soal ini? Pandanganku semakin mengabur karena mataku mulai terasa basah. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyeka air mata itu namun pada akhirnya jatuh juga.

Amelia, William, Elizabeth.

Maaf, aku tidak akan bisa bertemu kalian.

***

Aku tidak tahu berapa lama aku berada di tempat ini. Setelah dipikir-pikir lagi, tempat ini bukanlah rumah, tapi imitasi. Setelah berpikir demikian, aku merasa tidak betah untuk berlama-lama. Begitu aku sudah mencerna segalanya, aku beranjak dan memutuskan untuk keluar.

Membuka pintu depan rumah, kesedihanku dengan cepat berganti dengan shock dan rasa takut. Yang kulihat di depanku bukanlah halaman rumahku, tapi... luar angkasa! Aku melihat Bumi ada di bawahku, Bulan dan Matahari.

"Oh Tuhan... Ini gila," ucapku.

"Luca Davis, keluarlah," tiba-tiba aku mendengar suara berat bergema yang mengejutkanku di seluruh penjuru ruangan. Aku melihat ke seluruh tempat, tapi tidak ada sumber suara. "Luca Davis, keluarlah," suara itu bergema kembali. Sungguh aku berharap aku bisa keluar, tapi bagaimana caranya jika di hadapanku tidak ada tanah sama sekali?! "Luca Davis! Keluar dari sana sekarang juga!" Aku terperanjat ketika suara itu berteriak. Rasanya seperti ada suara gemuruh petir yang sangat besar.

Oh, Well, lagipula aku sudah mati. Buat apa aku takut terjatuh di sini?

Aku melangkah mundur, berlari dan melompat dari pintu, siap untuk terjatuh. Dan...

Tap!

Aku menapak.

Aku menapak di udara.

"Apa yang kau lakukan?" Aku mendengar suara wanita yang familiar. Azalea. Aku menatap ke arah sumber suara dan nyawaku yang sudah tidak ada serasa ditarik kembali ke tubuh dan diambil ke luar ketika melihat apa yang ada di depanku. Aku mendarat di bokongku dan seluruh badanku membeku.

Aku tidak hanya melihat Azalea yang berdiri dengan kedua tangan di sakunya, juga menatapku heran sambil menaikkan satu alisnya. Tapi juga orang... Atau makhluk-makhluk di belakangnya.

Ada satu makhluk raksasa bertudung hitam, lebih besar dari Bumi, Bulan, ataupun bintang-bintang alam semesta. Di sekelilingnya, ada makhluk-makhluk bertudung hitam yang lebih kecil namun lebih besar dan tinggi daripada manusia biasa.

"A- apa itu?"

"Mediator," jawab Azalea. "Dia akan memberimu tugas,"

Lihat selengkapnya