Semenjak hari itu rasanya aku mulai berubah. Aku mulai menyukai berjalan di bawah guyuran air hujan yang sebelumnya aku tidak suka membiarkan badanku terkena hujan karena akan menyebabkan masuk angin atau bahkan akan membuatku flu. Namun tidak dengan sekarang, aku menyukainya karena dengan begitu aku bisa menyembunyikan tangisku saat hujan mengguyur bumi.
Tidak hanya itu, aku juga kehilangan nafsu makan dan berat badan dalam hitungan beberapa hari saja. Kini, aku juga memiliki kebiasaan menatap langit di malam hari sambil membaca buku lantas akhirnya menangis. Ah, sebenarnya aku membenci diri yang sekarang ini, benar-benar terlihat lemah. Namun, Lena dan Nurin bilang itu wajar dan manusiawi.
Seperti saat ini, entah sudah berapa jam aku menghabiskan waktu di balkon, memandangi langit Jakarta yang menghitam sambil memegang buku yang sebenarnya tidak kubuka sama sekali, sisanya hanya melamun, melawan kenangan yang terus muncul lantas sesekali aku menyeka air mata yang tiba-tiba terjatuh tanpa kusadari.
“Ah, sial. Ini benar-benar menyiksaku.” Aku menutupi wajahku dengan buku novel yang sejak tadi berada di pangkuanku.
“Apakah kau akan di sini sampai pagi?”
Aku menoleh ke arah sumber suara, Nurin menggeleng-gelengkan kepalanya seraya membawa secangkir Teh Chamomile yang belakangan ini sering aku konsumsi. Ya, akhir-akhir ini aku mengalami gejala kesulitan tidur. Sehingga nyaris setiap malam aku meminum teh itu untuk membantuku mendatangkan rasa kantuk.