Manusia Yang Telah Ditakdirkan

Relung Fajar Sukmawati
Chapter #2

Serpihan Masa Lalu (Fauzan)

Kelas-kelas masih lengang, hanya ada beberapa siswa saja yang sudah datang. Sayup-sayup dari luar kelas, aku mendengar suara bacaan Al-Quran, merdu sekali, belum pernah aku mendengar seorang wanita seumurannya mampu melantunkan ayat suci seindah ini. Mungkin ada, tetapi sebatas di dunia maya bukan di dunia nyata yang ada di sekelilingku. Wanita itu melantunkan ayat-Nya penuh penghayatan, menunaikan hak-hak tajwid di setiap huruf.

Aku mengurungkan niat untuk masuk, memilih duduk di kursi angkringan depan kelas. Lebih baik aku tetap tenang berada di sini sambil mendengar bacaan Al-Quran.

Tanpa terasa, aku meneteskan air mata. Rindu, jika saja beberapa tahun silam tidak ada kejadian pilu yang menimpa keluargaku, maka setiap pagi aku akan mendengar bacaan Al-Quran ibu.

Alladziina idzaa ashaabathum musiibah, qaaluu innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un,” aku tersentak, aku pernah mendengar ayat serupa saat mendapatkan musibah.

“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengatakan, sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada Allah-lah kita kembali,” aku mengartikan ayat yang dibacakannya pelan, memasukkan ke dalam hati.

Bacaan Al-Quran berakhir. Aku berdiri, bersiap untuk memasuki kelas dan melihat siapakah wanita pemilik suara merdu menenteramkan.

“Ternyata kamu,”

Bruk

“Owh, mimpi!” aku mengambil satu buku yang terjatuh, meletakkannya di atas meja belajar. Niat membaca usai shalat shubuh sempurna gagal. Buktinya, aku terlelap sampai pukul tujuh pagi.

Aku mengambil buku harian, membuat skema mimpiku pagi ini.

“Masa SMA, suara merdu wanita, dan musibah keluarga.”

Tiga kata kunci tersebut menggiring pada satu pertanyaan, siapa nama wanita yang terlibat dalam mimpiku? Aku mengkhususkan pertanyaan tadi dengan lingkaran yang berkali-kali kutebali.

“Hei bro, yuk makan!” kak Ridwan, kakak tingkatku di kampus sekaligus teman satu kontrakan membuka pintu kamar, mengajakku makan bersama.

“Kak, aku mimpi aneh!”

“Namanya mimpi, pasti fiksi Zan!”

“Tapi ini nyata Kak!” seruku sedikit tegas.

“Oke, ceritakan kepadaku bagaimana mimpimu!” kak Ridwan meletakkan piringnya, memandang tajam mataku. Bisa dikata Kak Ridwan-lah satu-satunya orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap keadaanku. Oh ya, kau perlu tahu, kak Ridwan ini tetanggaku di Yogyakarta.

“Mimpiku berlatar sekolah SMA, aku berdiri depan kelas, mendengar lantunan Al-Quran seorang wanita, kemudian mengingat musibah yang menimpa keluargaku. Kau pasti tahu kejadian saat aku kehilangan semua anggota inti keluarga!”

“Iya, lalu?”

“Aku masuk ke dalam kelas, tampak seorang wanita yang.. em.” Aku mencoba mengingat gambaran wajah, gagal.

“Wajahnya buram Kak, seperti disensor gitu! Tapi dia cantik. Mungkin dia kekasih hatiku. Kalau benar dugaanku kasihan sekali dia, di mana dia sekarang? Mengapa dia tak menemuiku? Namanya pun aku lupa, kalau boleh jujur aku sangat tersiksa kehilangan memori tiga tahun sebelum kecelakaan terjadi!” mataku berembun, biarkan saja aku menangis. Dulu setelah siuman dari koma, aku berusaha keras mengikuti terapi demi terapi dengan harapan mampu mengingat masa lalu. Aku memang berhasil mengingat kecuali tiga tahun selama masa SMA, kata dokter memori-memori itu telah rusak permanen.

“Aku merasa ada sesuatu yang belum usai!” kak Ridwan menunduk, entah apa yang ia pikirkan.

Lihat selengkapnya