Langkah cepat dari seorang gadis, menciptakan embus napas yang terengah-engah. Tatapan intimidasi dari beberapa pria setengah baya di sepanjang jalan, membuat isi kepalanya tidak bisa berpikir jernih. Apalagi dalam hitungan menit, sang pemberi cahaya di ujung langit akan jatuh melewati garis bumi.
Gadis berambut sepunggung menoleh sejenak, dua dari empat pria yang disadari terdeteksi beranjak dari tempat duduknya. Akhir-akhir ini ia tidak pernah benar-benar merasa aman saat di luar rumah, ia harus hati-hati dan gesit jika terdapat hal-hal yang mencurigakan. Seperti saat ini, ia menambah kecepatan langkahnya dan sesekali berlari menghindari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Tepat di depan pintu gerbang yang tinggi membentengi sebuah rumah, gadis dengan tas gendong berwarna biru itu menghela napas lega. Namun, belum sempat tangannya menggapai hendel gerbang sebuah tangan besar yang dilapisi kain berhasil membekap mulutnya.
“Mau ke mana kau gadis kecil?” Suara bariton itu berhasil membuat sekujur tubuh gadis berusia tiga belas tahunan itu menegang. Manik cokelat terang sempat menangkap sosok pria bertopi lusuh yang dilapisi jambang tipis, sebelum akhirnya bau memuakkan dari kain tersebut membuat penglihatannya perlahan kabur beriringan dengan sistem otot yang juga melemah.
Pria berjambang tipis itu lantas menggendong si gadis menjauh dari rumah tersebut, sesaat kemudian langkahnya terhenti ketika sosok perempuan di balik jendela di sebuah rumah berdiri menatapanya dengan tatapan kaget. Pria itu menghela napas pelan dan tersenyum tipis, sebelum akhirnya motor butut yang ditunggunya datang.
“Sepertinya kita harus melenyapkan satu rumah malam ini!”
Setelah itu mereka berlalu pergi membawa gadis kecil yang sudah tertidur memetik bunga mimpi. Diujung senja seperti ini memang menjadi waktu yang tepat untuk memangsa domba-domba nakal yang berkeliaran jauh dari induknya. Ini memang bukan keinginannya mejadi serigala, tetapi keadaan ini yang membuatnya seperti ini. Ya, semuanya sudah berjalan cukup lama. Lantas kenapa serigala ini masih tetap berkeliaran, seolah tidak ada petugas atau pahlawan untuk membunuhnya? Berbagi hasil dari domba yang di mangsa memang sangat menyenangkan.
“Apa maksudmu?” tanya temannya di pertengahan perjalanan.
“Ada seseorang yang memerhatikan kita. Pasti kau masih ingat dengan sepasang suami istri yang berani melawan, ketika kita hanya membawa tangan kosong ke tokonya?” balas pria berjambang yang memeluk tubuh si kecil tak berdaya.
“Ya aku tahu. Barusan kita melewati toko itu, kan?” Pria yang menyetir memarkirkan motornya di sebuah ruko yang ditinggalkan penghuninya sejak terlahirnya para serigala. Ruko ini terletak cukup jauh dari pemukiman yang dijadikan tempat untuk berburu, bahkan bukan hanya ruko yang ditempatinya saja yang kosong, melainkan semua ruko yang berada di sepanjang jalan ini sudah tidak berpenghuni.
“Malam ini kita harus membalaskan dendam dan membunuh jejak yang tertinggal di sana.” Pria berjambang itu mengangkat gadis kecil itu dan menyekapnya di sebuah ruangan yang mana di sana sudah terdapat lima tahanan yang kaki-tangannya terikat dan mulutnya dibekap kain.
Para tahanan itu menggeliat, menangis tak berair mata. Sudah berhari-hari mereka tinggal di sini, melewati kekelaman yang entah sampai kapan berakhir. Mereka dilukai secara kasar, bahkan tidak sekali dilukai dengan kelembutan yang membuat mereka lebih baik mati dari pada hidup dalam bayang-bayang sentuhan.