Di Bawah Langit Kelam Jakarta

tokohfiksi_
Chapter #2

1. Malam Yang Menyesakkan

Semenjak diberitakannya kenaikan harga pangan, sudah tidak ada lagi rasa aman untuk ras Tionghoa. Banyak tempat usaha yang dijarah secara paksa dengan dihiasi berbagai ancaman mengerikan. Beberapa melakukan perlawan, akan tetapi power mereka lebih kuat dan bahkan tidak segan melayangkan benda tajam melukai bahkan membunuh para korban.

“Kau sedang apa di depan jendela? Bukannya ibu menyuruh kita untuk bersiap-siap, besok kita akan pulang ke Tiongkok,” ujar seorang remaja perempuan yang tiba-tiba hadir dan bersandar pada mulut pintu. “Ya, aku tahu ini akan sangat berat untuk kita pergi dari sini. Tapi, tempat ini sudah sangat tidak aman untuk kita.”

Perempuan berambut pirang dengan panjang sepunggung, berlalu masuk lantas memeluk perempuan berambut sebahu yang berdiri menghadap jendela. Dia membeku di tempat, bahkan saat dirinya memeluk dari belakang.

“Aku juga akan merindukan tempat ini, kok.” Meskipun usia mereka terpaut lima tahun, tidak dipungkiri tinggi badan mereka seukuran. Ia menjatuhkan dagu ke bahu sang kakak, kemudian memiringkan kepala menatap wajahnya. “Kau menangis?”

Sontak ia melepaskan pelukan, dan membawa perempuan berambut sebahu duduk di ranjang. Kedua bola mata cokelat terang miliknya menyorot penuh wajah sang kakak, menatapnya heran dan kasihan.

“Ada apa?” Tangan kananya mengelus tangan perempuan bernama Yenny Li.

“Aku baru saja menyaksikan penculikan di luar sana,” ucap Yenny, napasnya tertahan, ragu untuk melanjutkan ucapannya.

Kedua alis perempuan barkaos biru muda itu tertaut, seketika posisi duduknya berubah miring menatap serius sang kakak. “Apa?”

Seakan tidak percaya dengan apa yang diucapkan Yenny, ia melirik ke arah jendela lalu menghampirinya. Matahari sudah sempurna hilang ditelan cakrawala, menyisakan semburat jingga yang perlahan lebur dalam kelamnya langit Jakarta. Keadaan di luar sangatlah sepi, bagaikan kota tak berpenghuni.

Yenny menghela napas berat, menyeka sisa air mata yang terlukis di pipinya. “Natali baru saja diculik, Yul!”

Bola mata milik Yulia berhenti beredar tepat gendang telinganya menangkap satu nama yang sudah tidak asing lagi di dengar. Secepat kilat ia memutar tubuhnya, menatap sang kakak yang terdiam menunduk.

“Na-tali? Adiknya Maura?” Yulia meyakinkan, sesaat kemudian merasa terpukul ketika Yenny mengangguk lemah. “Ck! Sialan!”

Tak berlangsung lama dari pengungkapan ini Yulia hendak berlalu dari kamar sang kakak, tetapi perempuan dewasa itu memotong langkahnya dengan cepat.

“Kamu mau ke mana?” Yenny menatap lekat wajah gadis belia di hadapannya. “Sebaiknya kamu enggak usah ikut campur dengan masalah ini. Kamu enggak perlu melangkah sejauh itu, Yul.”

“Tapi dia teman aku, Kak!” balas Yulia.

“Aku keluargamu. Kita adalah keluarga. Kamu sadar gak sih, kemarin malam orang-orang membobol toko sampai mereka melukai punggung Papah. Tujuan kita pulang ke Tiongkok besok supaya kita baik-baik saja, dan kamu jangan mengacaukan semua ini hanya karena kamu ingin menolong temanmu,” terang sang kakak dengan mata berkaca-kaca. “Kita juga lagi terancam, Yul. Semua ras Tiongkok sedang terancam.”

Yulia mendesah pelan dan tangannya menyapu wajahnya dengan kasar. Apa yang diucapkan sang kakak memanglah benar, situasi saat ini sangat tidak kondusif. Berbagai macam kejahatan rasial terus mengancam, bahkan di luar sana orang-orang berbondong-bondong menghadap pemerintahan menuntut agar negeri ini baik-baik saja dalam segala sisi.

“Kakak tahu Maura adalah teman kamu, keluarganya dekat dengan keluarga kita. Tapi, untuk saat ini kita harus lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain, Yul. Kita akan pulang besok, jadi bersiaplah,” mohon Yenny dengan lemah lembut.

Tanpa sepatah kata yang terucap, Yulia mengangguk lantas beranjak meninggalkan sang kakak yang tersenyum samar. Begitu melewati ruang keluarga, Yulia melihat Papah yang hanya mengenakan singlet, membiarkan luka sayat sepanjang lima puluh senti itu diterpa angin dalam selimut kasa.

Yenny benar, tak seharusnya ia gegabah masuk ke dalam permasalahan orang lain. Namun, tetap saja mengetahui Natali diculik baru saja membuat dadanya kembang kempis. Sakit hati. Yulia tidak bisa menyaksikan secercah senyum indah dari Natali lagi.

Di sisi lain, Yenny menuntaskan acara mengemas barang-barang penting ke dalam koper. Perasaannya benar-benar sangat runtuh setahun belakangan, banyak media berita menuliskan mengenai kejahatan rasial dari pribumi kepada penduduk Tionghoa. Beberapa diculik, lantas dijadikan umpan untuk mendapatkan segudang harta. Tidak sedikit pula, mereka melecehkannya, sampai menjadi jasad tak bernyawa.

Segala upaya pelaporan telah mereka luncurkan tapi tidak satu pun yang didengar, apalagi kondisi pemerintahan negeri ini sedang panas-panasnya. Selain perkara finansial yang anjlok, orang-orang pemerintahan membombardir dengan tindakan merugikan negara.

Yenny menyudahi perayaan kesedihan di tengah malam dan menutup rapat buku hariannya. Sebelum jiwa dan raganya jatuh dalam balutan bunga tidur, Yenny memutuskan pergi ke dapur untuk mengempaskan dahaga. Namun, pemandangan di depannya saat ini menimbulkan sebuah pertanyaan dan persepsi menakutkan.

“Papah? Mamah?” Yenny menautkan salah satu alisnya kala kedua orang tuanya tampak mengendap-endap di depan lawang pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan toko. “Kalian sedang apa?”

“Yenny? Kamu belum tidur?” Mamah tampak cemas kemudian menghampiri anak pertamanya. Ia memegang wajah Yenny dan menatapnya lekat. “Sekarang kamu ke kamar terus kunci pintu dan jangan keluar!”

Dahi Yenny berkerut bingung, sementara itu persepsi menakutkan yang timbul dalam benaknya semakin kuat.. “Ada apa, Mah?”

Belum sempat terjawab, suara benda terjatuh dengan diikuti suara dehaman dari dalam toko membuat ketiganya mematung sejenak. Mamah menatap Yenny dengan raut muka yang dikuatkan. “Sekarang kamu pergi ke kamar!”

“Tapi, Mah—”

“Ah, ternyata kalian sudah menyadari kedatangan kami?” Seorang pria bertopeng tiba-tiba muncul dan mengejutkan mereka bertiga. “Kalian merencanakan sesuatu untuk kami?”

Dengan diikuti dua orang bertopeng lainnya, tatapan pria itu berangsur turun ke arah Papah yang terjerembab dengan di sampingnya terdapat sebilah pisau dapur yang terlempar. Melihat hal itu, pria bertopeng terkekeh pelan tetapi terdengar menusuk.

Lihat selengkapnya