Seribu keindahan yang menghiasi malam ini tidak dapat mengubah bumi Jakarta menjadi seindah langit Jakarta. Perempuan 18 tahun itu menidurkan sang kakak yang sudah tak bernyawa dengan hati-hati. Ia berusaha bangkit dan menyeret tubuhnya untuk keluar dari rumah yang menjadi saksi atas kebengisan para pribumi. Dalam mata sendu penuh luka, ia menoleh melihat ke seluruh penjuru ruangan yang sedikit berantakan karena aksi perampokan berturut-turut.
Langkah gontai dari perempuan Tionghoa itu berakhir di sebuah bangunan yang setipe dengan rumahnya. Dibentengi pagar tinggi yang bagian sisinya menempel pada dinding ruko. Pagar itu digembok dari dalam, membuat dirinya beralih ke pintu ruko dan mulai memukulnya cukup keras.
“Maura!” Ia berteriak memanggil seseorang, tak peduli jika tindakkannya ini mengundang para pembunuh di luar sana. Semua keluarganya sudah dilenyapkan, lantas untuk apa dirinya hidup?
Kepalanya terantuk ke pintu ruko yang terbuat dari metal, ia kembali menyesali semua tindakkan pengecutnya. Sisa air mata yang bersembunyi di mata sembapnya kini kembali berderai menyuarakan penyesalan terbesar.
“Maura!” Seruan untuk ke sekian kalinya, akhirnya mendapatkan hasil.
“Si-siapa?” Suara berat yang terlontar dari balik pintu metal ini membuat tubuh perempuan yang penuh akan penyesalan kembali tegap. Kepalanya terangkat dengan lemah, bibirnya begetar hebat hendak menyebut nama sang pengecut.
“A-aku Yulia Li.”
“Yulia?” Suara berat itu terdengar memastikan.
“I-iya. Tolong a-aku, Om!” balas Yulia masih dengan napas yang tertahan-tahan. “Keluargaku dihabisi mereka!” Tangis Yulia seketika kembali pecah, masih sangat sulit untuk semua yang baru saja menimpa keluarganya.
Krek!
Pintu ruko itu didorong ke atas menampakkan tiga orang yang semua matanya tersorot kepada Yulia. Baju piama putih bercorak kartun yang dipenuhi noda merah, berhasil membuat tiga pasang mata itu membeliak. Perempuan berambut pixie yang berada di tengah-tengah mereka langsung menghampirinya dengan raut muka khawatir.
“Ya, ka-kamu kenapa?” Perempuan dengan celana pendek itu menatap sekujur tubuh Yulia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun, belum sempat menjawab, pria yang sorot matanya menampakkan kesedihan teramat dalam membawa Yulia masuk untuk ditenangkan.
Bukan hanya pria Tiongkok berusia 40-an saja yang memiliki tatapan menyedihkan, melainkan wanita berambut sepunggung menampakkan rona kesedihan di matanya. Dua netra cokelat terang itu tampak sayu, dengan kelopak mata yang membengkak.
“Ada apa, Ya?” Hanya perempuan berpenampilan tomboy di depannya yang tampak tegar, di antara orang tua tadi.
“Mereka ... menghabisi ... keluargaku, Ra!” Suara Yulia bergetar, tidak kuasa untuk mengeluarkan suara lagi. Seluruh energi yang berseliweran di tubuhnya sudah lenyap nyaris sepenuhnya untuk menangisi kepergian keluarganya dan mencaci tindakan pengecut atas dirinya sendiri.
Seluruh pengisi ruang tengah terdiam, tersisa simfoni kesedihan yang tercipta dari deru napas yang tertahan-tahan milik Yulia. Sebelum akhirnya orang tua yang duduk di sampingnya menyergap tubuh Yulia bersamaan. Sementara Maura masih awet dengan diamnya, hanya saja ekspresi yang dikeluarkan tampak penuh amarah.
“Setelah mereka menculik Natali, mereka berani menghabisi keluarga temanku?” ucap Maura dengan hela napas panjang dan kasar.
“Kamu yang sabar ya, Ya? Kita akan lapor polisi sekarang.” Wanita berambut sepunggung yang berada di sampingnya menatap pria yang menjadi suaminya. Dia sudah beranjak menuju telepon yang setiap jamnya ia gunakan untuk menghubungi polisi atas tindakkan penculikan Natali.