Di Bawah Langit Kelam Jakarta

tokohfiksi_
Chapter #4

3. Yulia dan Maura

Semua orang tahu jika siang ini langit Jakarta sangat terang, awan-awan bergumpalan berseliweran yang sesekali menutupi sinar matahari yang terik. Namun, hal ini tidak mengubah takdir apa yang terjadi di bawah naungannya, orang-orang tetap rusuh sembari melontarkan kalimat-kalimat sarkas di hadapan barisan berseragam yang membentengi bangunan-bangunan gagah yang kehilangan kepercayaannya.

Sudah lebih tiga puluh menit keempat manusia pulang dari pemakaman keluarga Li yang dibantu oleh tetangga di sebuah pemakaman etnis Tionghoa. Sudah tiga puluh menit juga, keluarga Shi memandang berita di TV sembari menunggu Yulia kembali dari WC.

Maura yang terduduk dengan membuka kaki lebar, akhirnya beranjak menuju WC. Maura sangat takut jika temannya itu melakukan hal gila di dalam sana, mengingat apa yang dia hadapi saat ini bukanlah masalah yang sederhana.

“Ya? Kau baik-baik saja kan di sana?” seru Maura dengan diikuti ketukan pintu.

Klek! Hendel pintu WC diputar dan menampakkan Yulia yang berpenampilan sangat tidak baik. Mukanya pucat, matanya sembap, dan bibir tipisnya kehilangan pelangi yang senantiasa tercipta di setiap senyumnya. Yulia sangat menyedihkan.

“Aku baik-baik saja, Ra.” Yulia mengangguk lemah. “Kau mau mengantarku ke rumah? Aku harus membawa beberapa barang untuk tinggal di sini.”

Maura tersenyum sumringah, berusaha untuk menyalurkan energi positif kepada Yulia. “Iya, tentu saja. Barang-barangku pun enggak sebanyak itu untuk dimiliki berdua, lagipun selera pakaian kita sangat bertolak belakang, Ya. Emang kamu mau koloran sama pake kaos modelan gini?”

Yulia tertawa kecil melihat penampilan Maura dari mulai gaya rambut hingga pakaian yang membungkus tubuhnya. Dia terlihat seperti seorang cowok keren yang tengah bersantai di rumah, belum lagi anting hitam yang menghiasi telinganya membuat aura maskulin dari sosok Maura terasa.

“Gimana mau? Aku enggak keberatan sih kalo kamu mau, Ya,” lanjutnya seraya membuka tangannya sedikit.

“Enggak, makasih,” tolak Yulia.

Kini Maura yang tertawa dan menghela napas pendek karena lega melihat teman masa kecilnya tertawa. Setidaknya dengan obrolan tadi, Yulia bisa sedikit lebih rileks dan membantu untuk bangkit dari lukanya yang sangat teramat dalam.

“Baiklah, kalo gitu ayo kita bawa barang-barangmu ke sini,” ujar Maura seraya merangkul Yulia.

Keduanya berlalu dan meminta izin kepada orang tua kalau mereka akan kembali ke rumah setelah membawa barang-barang Yulia dari rumahnya. Maura dan Yulia berjalan beriringan di tepian jalan yang sepi bak tak berpenghuni. Hingga ketika langkah mereka memasuki halaman rumah yang dituju, serempak mereka mematung. Maura menoleh ke arah Yulia, yang menghela napas panjang.

“Jika kau tak keberatan aku bisa membawakan barang-barangmu. Kau tunggu saja di sini, aku tidak mau sel—“

Yulia menatap Maura, lantas senyum tipisnya terumbar seraya menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak apa-apa, Ra. Yuk!”

Tangan Yulia menangkap pergelangan tangan Maura dan masuk ke rumahnya dengan tenang. Tidak ada lagi garis polisi, semuanya sudah dibersihkan dan di rapikan. Mereka tahu cuaca Jakarta cukup terik, tapi begitu mereka masuk seakan mereka tersengat hawa dingin yang membuat sekujur tubuhnya meremang. Sepi, hilang, lenyap, semuanya melahap habis jejak-jejak kehangatan yang pernah tercipta di sini.

“Ra, kau tahu seharusnya hari ini kita pulang ke Tiongkok. Aku sudah membereskan semua barang yang kubutuhkan, tapi malam kemarin menghancurkan semuanya tanpa sisa,” terang Yulia lantas menarik koper yang mematung di ujung ranjang.

Napas Maura sempat tertahan, tidak tahu menahu tentang rencana Yulia yang satu ini. Dadanya seakan tertusuk sebilah pisau; yang seharusnya mereka menempuh perjalanan jauh untuk memulai hidu baru di negeri asal, tapi sekumpulan orang gila malah menenggelamkan semuanya,

“Dan sekarang aku terjebak di sini sendirian,” lanjut Yulia seraya mengeluarkan seragam sekolah yang sebelumnya akan ia tinggalkan di sini.

Lihat selengkapnya