Rumah sakit, 32 tahun lalu.
Seorang pria berjaket lusuh duduk di ruang tunggu, menghadap tembok rumah sakit yang kosong. Di lengannya, seorang anak laki-laki bersandar sambil tertidur. Sesekali ia menengok ke arah pintu ruang operasi. Wajahnya tampak cemas dan letih karena kurang tidur. Sesekali ia mengusap wajahnya dan menatap jam dinding yang terletak tepat di depannya. Pria itu bernama Harta, papa dari Kulan dan Nugi.
Selang beberapa menit yang terasa seperti berjam-berjam, pintu ruang operasi terbuka. Harta menengok cepat. Ia memindahkan Kulan yang sedang tertidur ke kursi. Kulan menggeliat dan membuka matanya pelan.
Harta menatap dokter yang berdiri di depan pintu, seolah bertanya. Dokter tersebut mengangguk sambil tersenyum. Harta memeluk Kulan dan menciumi anak sulungnya yang tampak masih mengantuk. Air mata mengalir pelan di pipinya.
Kamar inap.
Harta duduk di sebelah istrinya yang tampak lelah tapi bahagia. Seorang bayi laki-laki mungil tertidur di pelukannya.
“Udah ada ide belum, mau dikasih nama siapa?” Nia, ibu Kulan dan Nugi berkata lembut.
“Belum ada.” Harta mendekati bayi tersebut dan mengusap-usap dahi si bayi lembut.
“Kita kasih nama Nugraha aja, gimana?”
Harta mengangkat pandangan dari bayi yang sedang ia kagumi. Dahinya berkerut.
“Cocok, kan?” Nia menatap suaminya penuh harap.
“Bukannya itu nama mantan kamu, ya?”
Nia tertawa kecil, “Tapi bagus, kan? Kita panggil Nugi aja.”
Harta mengangguk pelan, kemudian tersenyum dan kembali menatap anak keduanya.
“Halo, Nugi. Ini Papa.”
Nugi kecil terbatuk, kemudian menangis. Nia menepuk-nepuk tubuh bayi mungil tersebut.
“Aduh, kasihan anak mama. Lapar, ya?”
Sementara, Kulan duduk sendirian di sofa kamar inap. Memandangi pemandangan tersebut. Tidak ada satu pun yang memerhatikannya.
Tidak makan waktu lama untuk Nia memulihkan tubuhnya pasca melahirkan. Beberapa hari berselang, setelah dokter memastikan keadaan ibu dan bayi sudah benar-benar sehat, Nia dan Nugi dijemput Harta dan Kulan untuk pulang.
Nia, sambil menggendong Nugi, berjalan di depan menuju mobil. Sementara Harta di belakangnya, membawa tas dan bantal sambil salah satu tangannya merangkul Kulan yang diam saja sejak dari rumah.
“Mas senang nggak, punya adek?” Harta menengok ke arah sulungnya sambil tersenyum. Yang ditanya hanya mengangguk dan tersenyum.
“Nanti, Mas bantuin jagain adek, ya.” Kata Harta lagi. Kulan hanya terdiam dan menatap ibunya yang sudah menunggu di samping mobil mereka.
“Mas Kulan udah makan?” Nia bertanya pada anak sulungnya. Ini sudah lewat jam makan siang. Kasihan juga kalau anaknya belum sempat makan.
“Tadi udah makan roti.” Jawab Kulan singkat sambil membuka pintu mobil.
“Nanti kita beli McD ya, sambil jalan pulang?” Tanya Nia lagi. Kulan menggeleng. Nia dan Harta bertatapan, kemudian keduanya masuk ke mobil.
“Kemarin udah. Mama nggak akan masak ya nanti?”
“Nggak bisa, Mas. Kan sekarang ada adek bayi. Mama harus jagain adek bayi.” Nia menjawab lembut sambil menengok ke arah Nugi.
“Mama juga harus istirahat, kan baru pulang dari rumah sakit.” Harta menambahkan.
“Ya udah, McD aja.” Jawab Kulan singkat sambil meraih game watch yang ia simpan di kantong jok.
Mobil Kijang berwarna hijau gelap itu berhenti di depan rumah kecil berpagar hitam yang sudah agak berkarat. Harta membuka pagar dan membiarkan keluarganya masuk ke halaman kecil yang dipenuhi tanaman-tanaman di dalam pot. Sebuah mobil-mobilan tergeletak begitu saja di tengah-tengah teras yang luasnya tidak seberapa.
“Mas, mainannya nggak disimpan lagi?” Tanya Nia. Kulan hanya diam dan mengambil mainannya.
“Lain kali, kalau habis main, diberesin lagi, ya. Kan sekarang udah jadi kakak. Harus lebih disiplin, ya.” Nia melanjutkan lembut. Kulan mengangguk. Harta yang tangannya dipenuhi barang bawaan bertanya,
“Kulan, kunci rumahnya mana? Tadi Papa titip ke kamu, kan?”
Kulan mengangguk dan merogoh-rogoh saku celananya, tapi ia tidak menemukan apapun.
“Kayaknya ketinggalan di mobil deh, Pa.”
Harta hanya tersenyum kecil dan menyodorkan kunci mobil.
“Ya udah, ambil dulu, nih.”
Kulan sudah akan berjalan menuju mobil saat mamanya mengomel,
“Kulan, kan sekarang udah jadi kakak. Ayo dong, belajar bertanggung jawab. Masak dititipin kunci aja nggak bisa?”
Kulan hanya melirik ibunya sekilas, kemudian lanjut berjalan. Di belakangnya, Harta mengusap pundak istrinya lembut.