Sejak acara Maulid Nabi, Hasan merasa hatinya terusik. Bukan gangguan dalam arti buruk, tetapi ada rasa baru yang perlahan tumbuh. Ia mulai memperhatikan Aisyah, meski hanya dari kejauhan. Setiap gerak-geriknya selalu menarik perhatian Hasan. Namun, sebagai santri yang taat, ia sadar bahwa perasaannya ini bisa menjadi fitnah jika tidak dikendalikan.
Pagi itu, suasana di pesantren seperti biasa dipenuhi dengan aktivitas. Hasan, yang biasanya tekun dan fokus pada pelajaran, mulai menyelipkan tanya tentang Aisyah kepada teman-temannya. “Aisyah itu ketua organisasi santriwati, kan?” tanya Hasan dengan nada santai kepada Rifqi, teman dekatnya.
“Iya, dia santriwati teladan. Kenapa? Kamu tertarik, ya?” goda Rifqi sambil tersenyum jahil. Hasan hanya tersenyum tipis dan mengalihkan pembicaraan. Namun, hatinya membenarkan pertanyaan Rifqi.
Sementara itu, Aisyah tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia menghabiskan waktu dengan belajar, mengajar santriwati yang lebih muda, dan mempersiapkan berbagai kegiatan pesantren. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang diam-diam mulai mengaguminya.