Hasan mulai merasa dirinya tidak lagi seperti santri yang dulu. Fokusnya pada pelajaran mulai terganggu, dan ia sering kali termenung tanpa alasan. Di pesantren yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan nilai-nilai syariat, apa yang ia alami adalah ujian yang besar.
“Hasan, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rifqi suatu pagi saat mereka sedang sarapan bersama di dapur umum. Hasan hanya mengangguk kecil, tetapi Rifqi tahu bahwa temannya itu sedang menyembunyikan sesuatu.
“Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu. Jangan terlalu lama menyimpan sendiri, Hasan. Bisa jadi itu malah memberatkanmu,” lanjut Rifqi, mencoba membuka ruang untuk Hasan berbicara.
Hasan menatap Rifqi sejenak, lalu berkata pelan, “Aku takut, Rifqi. Takut pada diriku sendiri. Takut kalau perasaan ini hanya akan membawa keburukan.”
Rifqi terdiam, lalu menepuk bahu Hasan dengan lembut. “Kita di sini untuk belajar dan memperbaiki diri, Hasan. Kalau kamu merasa sedang melenceng, kembalikan dirimu kepada Allah. Jangan biarkan perasaan itu menguasai hatimu.”
Sementara itu, di bagian lain pesantren, Aisyah mulai merasa tertekan dengan bisik-bisik yang semakin sering terdengar. Santriwati lain mulai membicarakan dirinya, bahkan saat ia sedang bersama ustadzah.
“Kalau ada yang ingin disampaikan, sampaikan langsung, jangan membicarakan sesuatu yang tidak jelas di belakang,” tegur Aisyah kepada dua santriwati yang berbisik saat kelas usai. Tegasnya membuat mereka terdiam, tetapi gosip itu tetap beredar seperti angin yang sulit dikendalikan.