Setelah reuni akbar pesantren, Hasan kembali ke desanya dengan banyak hal yang memenuhi pikirannya. Pertemuan dengan Aisyah, meskipun singkat, telah menggugah hatinya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini waktu yang tepat untuk mengambil langkah lebih serius dalam hidupnya?
Namun, Hasan menyadari satu hal: jika ia ingin melamar Aisyah, ia harus memastikan dirinya benar-benar siap. Ia bukan hanya harus mampu menjadi seorang suami, tetapi juga pemimpin yang bertanggung jawab.
Hari-harinya kembali diisi dengan rutinitas mengajar anak-anak mengaji dan membantu ayahnya di sawah. Namun, kali ini ada semangat baru dalam setiap langkahnya. Ia mulai menyusun rencana untuk membuka kelas tambahan bagi para pemuda di desanya, mengajarkan tidak hanya ilmu agama tetapi juga keterampilan hidup seperti manajemen keuangan dan pengelolaan usaha kecil.
“Hasan, apa tidak terlalu berat membagi waktu antara mengajar dan membantu di sawah?” tanya ayahnya suatu pagi.
“Tidak, Ayah. Ini adalah bagian dari tanggung jawab saya. Saya ingin anak-anak di desa ini memiliki peluang yang lebih baik,” jawab Hasan dengan senyum yakin.
Sementara itu, di kota, Aisyah tengah sibuk dengan kuliahnya. Namun, pikirannya sering kali kembali kepada Hasan. Ia tidak bisa melupakan bagaimana Hasan terlihat tenang dan penuh keyakinan saat berbicara di reuni. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa bahwa Hasan adalah seseorang yang istimewa.
Di kampus, Aisyah menjadi salah satu mahasiswi yang paling aktif dalam organisasi. Ia menginisiasi program pengabdian masyarakat untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada anak-anak di daerah terpencil. Program itu menjadi salah satu kegiatan yang paling disukai oleh mahasiswa lainnya.
“Aisyah, kamu selalu punya ide-ide yang bagus. Aku rasa, kamu akan menjadi pendidik yang hebat,” ujar salah satu temannya.
Aisyah tersenyum. “Aku hanya ingin menjadi seseorang yang bermanfaat. Itu saja,” jawabnya.