Beberapa minggu setelah reuni, Hasan akhirnya merasa cukup siap untuk mengambil langkah besar dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk datang ke rumah Aisyah dan menyampaikan niat baiknya. Dengan penuh keberanian, ia meminta Rifqi untuk menemaninya sebagai saksi.
“Hasan, yakin kau sudah siap? Ini langkah besar, dan kau harus menghadapi segala kemungkinan,” ujar Rifqi sambil menepuk bahu Hasan.
Hasan mengangguk. “Aku sudah mempertimbangkan semuanya, Rifqi. Jika niatku tulus, insyaAllah Allah akan mempermudah jalannya.”
Hari yang dinanti pun tiba. Hasan mengenakan pakaian terbaiknya, membawa beberapa bingkisan sederhana sebagai tanda penghormatan. Hatinya berdebar ketika tiba di depan rumah Aisyah. Ia merasa langkahnya berat, tetapi ia terus berdoa di dalam hati, memohon keberanian dan kelancaran.
Ibunda Aisyah menyambut Hasan dengan ramah, meskipun terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan tamu yang tak diduga. Setelah berbasa-basi, Hasan mulai menyampaikan maksudnya dengan tenang.
“Ibu, saya datang ke sini dengan niat baik. Saya ingin memohon izin dan restu untuk melamar Aisyah,” ujar Hasan dengan nada penuh keyakinan.
Ucapan Hasan membuat suasana menjadi hening. Ibunda Aisyah terdiam sejenak, lalu menatap suaminya yang juga hadir di ruangan itu.
“Kami menghargai niat baikmu, Hasan. Tapi, kami harus mempertimbangkan ini dengan matang,” jawab ayah Aisyah dengan nada hati-hati.
Sementara itu, Aisyah yang mendengar percakapan dari kamar merasa hatinya campur aduk. Ia tidak menyangka Hasan akan mengambil langkah ini begitu cepat, tetapi ia juga merasa lega karena niat Hasan sudah jelas.