Setelah pertemuan kedua, Hasan kembali ke desanya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena keluarganya Aisyah tidak langsung menolak lamarannya. Namun, di sisi lain, keraguan yang masih tersisa di hati ayah Aisyah membuatnya merasa harus bekerja lebih keras untuk membuktikan dirinya.
“Aku harus menunjukkan bahwa aku bukan hanya punya niat baik, tapi juga kemampuan untuk memenuhi tanggung jawab ini,” gumam Hasan pada dirinya sendiri.
Hasan mulai melipatgandakan usahanya. Selain mengajar mengaji dan membantu di sawah, ia juga membuka kelas tambahan di musala untuk pemuda-pemuda desa. Ia mengajarkan keterampilan dasar seperti bercocok tanam modern dan pengelolaan usaha kecil, berharap bisa memberikan dampak positif di komunitasnya.
Di kota, Aisyah menghadapi tekanan yang berbeda. Ibunya yang masih ragu mulai menyarankan agar Aisyah mempertimbangkan lamaran dari pria lain. Salah satu kandidat adalah Fauzan, yang tidak menyerah dalam usahanya merebut hati keluarga Aisyah.
“Bu, saya tidak meminta banyak. Saya hanya ingin keluarga kita bahagia dan masa depan Aisyah terjamin,” ujar Fauzan dengan senyum penuh kepalsuan saat berkunjung ke rumah Aisyah.
Namun, Aisyah merasa semakin tidak nyaman dengan kehadiran Fauzan. Ia tahu niatnya tidak tulus, dan ia tidak ingin dipaksa memilih seseorang yang tidak ia yakini.
“Ibu, tolong jangan memaksa saya. Saya yakin dengan keputusan saya, dan saya percaya Hasan adalah orang yang tepat,” tegas Aisyah.
Ibunya menghela napas panjang. “Tapi, Aisyah, hidup tidak hanya tentang cinta. Kau harus memikirkan masa depanmu. Hasan itu baik, tapi apakah dia bisa memberikan kehidupan yang layak?”