Hasan pulang dari pertemuan ketiga dengan hati yang lebih ringan. Ia merasa perjuangannya untuk mendapatkan restu ayah Aisyah mulai menunjukkan hasil. Namun, ia sadar bahwa perjalanan ini belum selesai. Masih ada keraguan yang perlu diatasi, dan Fauzan, dengan segala akal liciknya, masih menjadi ancaman yang tidak bisa diabaikan.
Di desa, Hasan kembali pada rutinitasnya dengan semangat yang lebih besar. Ia terus mengembangkan usahanya, mengajar anak-anak di musala, dan membantu keluarganya di sawah. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah pria yang mampu menjalankan tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga.
Sementara itu, di rumah Aisyah, percakapan mengenai Hasan kembali mencuat. Ibunda Aisyah, meskipun mulai terkesan dengan kegigihan Hasan, masih memiliki kekhawatiran.
“Bagaimana jika usahanya tidak berhasil? Apa yang akan dia lakukan?” tanya ibunya kepada ayah Aisyah.
“Kita harus memberinya kesempatan. Hasan telah menunjukkan kesungguhannya,” jawab ayah Aisyah, yang mulai condong mendukung Hasan.
Namun, Fauzan tidak tinggal diam. Ia kembali mendekati ibunda Aisyah, membawa cerita palsu tentang Hasan. “Bu, saya dengar usaha Hasan hanya bertahan karena bantuan dari desa. Dia tidak punya modal sendiri. Apa itu cukup untuk masa depan Aisyah?” ujar Fauzan dengan nada manipulatif.
Ibunda Aisyah mulai bimbang kembali. Fauzan, dengan kecerdikannya, tahu bagaimana menanamkan keraguan di hati orang lain.
Di sisi lain, Aisyah yang mendengar tentang keraguan ibunya mencoba meyakinkannya. “Ibu, rezeki itu datangnya dari Allah. Yang penting adalah usaha dan doa. Hasan telah menunjukkan bahwa dia adalah orang yang bertanggung jawab. Saya percaya dia bisa,” kata Aisyah dengan penuh keyakinan.
Namun, ibunya menjawab dengan nada lembut, “Aisyah, Ibu hanya ingin memastikan kau bahagia dan tidak kekurangan apa pun.”
“Ibu, bahagia itu bukan soal materi. Bahagia itu soal hati yang merasa cukup. Hasan mungkin sederhana, tapi hatinya besar,” balas Aisyah.