Hari pernikahan Hasan dan Aisyah akhirnya tiba. Desa Hasan yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh keramaian. Warga desa, keluarga, dan kerabat dekat datang untuk menyaksikan pernikahan yang sederhana namun penuh makna ini.
Musala kecil tempat Hasan mengajar mengaji dihias dengan kain putih dan bunga segar. Tempat itu dipilih sebagai lokasi akad nikah, melambangkan kesederhanaan dan kedekatan Hasan dengan komunitasnya.
Hasan berdiri di depan meja akad, mengenakan baju koko putih bersih dan sarung tenun yang rapi. Wajahnya tampak tenang, meskipun hatinya berdebar. Ia tahu bahwa momen ini adalah awal dari perjalanan baru dalam hidupnya.
Di ruangan lain, Aisyah bersiap dengan bantuan ibunya. Ia mengenakan gamis berwarna pastel dengan hiasan sederhana, tetapi penampilannya memancarkan keanggunan yang membuat siapa pun yang melihatnya terpana.
“Ibu, apa saya sudah siap untuk semua ini?” tanya Aisyah dengan suara bergetar.
Ibunya tersenyum sambil merapikan kerudung Aisyah. “Kau sudah lebih dari siap, Nak. Hasan adalah pilihan yang tepat, dan aku yakin kau akan bahagia bersamanya.”
Sementara itu, Fauzan yang masih menyimpan dendam merasa tidak puas melihat semua persiapan berjalan lancar. Ia berdiri di luar musala, mencoba mencari cara untuk mengganggu jalannya acara. Namun, hatinya mulai berperang dengan dirinya sendiri.
“Apakah ini yang seharusnya aku lakukan? Apa aku hanya akan terus menjadi orang yang iri?” pikirnya.
Di dalam musala, prosesi akad nikah dimulai. Ayah Aisyah duduk di samping Hasan, menyerahkan tangan putrinya dengan ucapan yang penuh haru.