"Fe, sudah sore. Sampean¹ enggak balik, to?” Santi melontar tanya ketika aku sedang sibuk menata stok minuman kaleng yang baru datang ke dalam chiller box showcase².
“Bulik bilang, aku belum boleh pulang kalau belum jam lima,” jawabku singkat tanpa embel-embel apa pun setelahnya.
Santi sudah cukup tahu bagaimana perlakuan Bulik dan keluarganya terhadapku. Karena itu, aku tidak perlu menjelaskannya lagi. Santi sudah cukup paham akan hal itu.
“Nia bikin ulah apa lagi sampai kamu harus nanggung akibatnya?”
Pertanyaan Santi membuatku mendesah lelah. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, karena dia sudah pasti tahu apa jawabnya. “Ya ... begitulah.”
“Kamu nopo³ kok enggak protes wae, Fea? Kamu kan enggak salah.”
Untuk apa? Rasanya percuma saja kalau aku banyak protes, tapi ujung-ujungnya tetap aku yang disalahkan. Entah apa yang dipelajari Nia selama di sekolah. Aku bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa selihai itu dalam menghasut ibunya dan menjadikan aku sebagai pihak yang salah.
“Sudah biasa.” Hanya kata itu yang bisa berhasil aku ucapkan.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku lelah. Akan tetapi, aku sangat sadar diri. Aku tidak bisa melawan apa pun yang sudah menjadi keputusan Bulik mengingat masih banyaknya utang mendiang orang tuaku kepada mereka yang harus dilunasi. Karena jika tidak, hidupku tidak akan pernah tenang akibat keluarga Bulik yang terus mengingatkan akan utang mendiang orang tuaku pada mereka.
Apa salahku sampai harus menanggung beban ini? Sudah hampir satu tahun aku mengabdi pada keluarga Bulik, membantu menjaga swalayan tanpa bayaran dengan alasan sebagai pelunasan utang, tapi sampai sekarang, belum juga dianggap lunas. Aku harus bagaimana supaya bisa terbebas dari ini semua?
“Fea, Fe ....”
Santi menyiku lenganku, membuatku refleks menoleh ke arahnya. Ah, rupanya aku terlalu larut dalam alam bawah sadarku.
“Ya?” Aku menyahut dengan kening sedikit mengerut.
“Sampeyan kakean ngelamun lho⁵, Fe. Diajak ngomong sampai enggak denger,” seloroh Santi yang suka sekali berujar dengan bahasa gado-gadonya.