Lelah. Satu kata itu sudah cukup menggambarkan bagaimana aku sekarang. Menggeluti bidang pekerjaan yang tidak aku inginkan, hanya wujud bakti sebagai anak laki-laki kepada orang tua. Ya, melanjutkan mengelola bisnis Papa.
“Butuh ke alam, Bro! Muka sudah lecek kayak kertas bekas, tinggal lempar ke tong sampah.” Angga berseloroh.
“Jangan, ah! Dipungut orang nanti, ganteng gitu masa mau dibuang? Dijadikan pajangan aja, Mas. Sekalian saya temani foto pakai kebaya putih.” Dania menimpali.
Aku menggeleng. “Enggak bisa, Dan, penghulunya lagi sakit.” Kalimat sederhana ini berhasil memancing kerusuhan di dalam kantor. Aku hanya tersenyum dan berpamitan pulang terlebih dahulu.
Menjelang petang, langkahku mengantarkan matahari tumbang. Apa terdengar cukup puitis? Ya. Aku suka menulis, meski bukan seorang penulis. Hanya sekadar menyalurkan hobby di samping kesibukan dalam mengelola bisnis papa.
“Fabian ... jangan kabur habis godain anak orang, ya!”
Aku menoleh, Angga menginterupsiku dari belakang. Laki-laki itu, teman sekantorku, sudah seperti keluarga sendiri.
Dia berdiri di hadapanku dengan napas terengah-engah. Aku hanya mengamati dan menunggu apa yang ingin dia katakan.
“Dasar buaya! Celoteh anak gadis gitu, ditanggapi,” tutur Angga lagi begitu napasnya sudah kembali normal.
“Hanya menanggapi, enggak ada maksud lain,” balasku sekenanya.
“Sama aja, Yan. Sama aja.”
“Pahala tahu, bikin seneng anak orang,” elakku.
Angga hanya tertawa, rambutnya yang sebahu berulang kali diterpa angin. Bukan kelihatan tampan, malah tampak semrawutnya. Dia butuh tukang potong rambut sepertinya.
“Nih,” kata Angga sambil menyodorkan amplop cokelat ukuran sedang.
“Apa, nih? Surat pengunduran diri?” tanyaku sambil menerawang isi amplop tersebut.
“Nantangin. Dikirim surat pengunduran diri beneran, awas ya! Nanti kelimpungan.”
“Tanya, Ngga. Kalau bener, kusobek nih kertas!” Jemariku sudah sigap mengambil garis tengah untuk segera menarik masing-masing sisi secara berlawanan.
Angga lebih dulu menahan. “Tiket pesawat, Bro! Pergi sana, cari udara segar! Krisis perusahaan juga sudah berakhir, jangan terkurung di kantor sampai murung! Mukamu tuh, sepet banget dilihat.”
Aku hanya mengangguk singkat. Karena kalau merespons ucapan Angga lagi, tidak akan ada ujungnya. Angga tipe laki-laki cerewet yang kalau bicara, bisa lebih panjang dari emak-emak kompleks yang memperdebatkan cerita dalam sinetron yang ditayangkan channel ikan terbang.
Aku mengibaskan amplop cokelat itu sambil berlalu menuju mobil jenis Hatchback. Mobil merek ternama keluaran Jepang. Jalanan yang lengang membuatku bisa memaksimalkan kecepatan dengan jarak tempuh hanya dalam hitungan detik.
❤️❤️❤️