Di Bawah Langit Senja

MoreShinee
Chapter #3

Syafea - Jatuh Hati

"Sya, maaf, ya. Kita masih bisa berteman. Tapi mulai sekarang, kita enggak bisa deket-deket lagi kayak kemarin-kemarin. Kamu tahu sendiri ‘kan, kalau sekarang kita sudah beda frekuensi? Kita enggak bisa terlalu akrab lagi.”

Beberapa kalimat itu menyapa indra pendengaran begitu aku memasuki area sekolah. Para sahabat sudah menunggu di sisi pintu gerbang, tetapi bukan untuk menyambut kedatanganku lantas mengajak memasuki kelas bersama-sama seperti hari yang lalu, melainkan untuk menyampaikan berita duka itu.

“Anin bener, Sya. Kita sudah beda circle. Jadi maaf, dengan terpaksa kamu harus keluar dari geng kita.” Rosa menambahkan.

“Maaf, Sya. Sebenernya aku masih mau berteman sama kamu. Tapi kalau keputusan Anin sama Rosa kayak gitu, aku enggak bisa bantu.” Tania yang paling baik pun menimpali dengan kata-kata yang sejatinya tidak ingin kudengar. Sungguh.

Ya, rasanya memang pantas jika aku menyebutnya dengan berita duka. Tiga sahabatku secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak bisa lagi dekat denganku.

Aku belum sempat mengatakan apa pun ketika tiga gadis itu berlalu dari hadapan. Sedih? Jangan ditanya. Aku terlalu dekat dengan mereka sampai mengabaikan yang lain, menyebabkan aku tidak memiliki teman selain mereka.

Ingatan lalu tentang kebersamaan kami lantas terputar dengan sendirinya dalam memori otakku. Aku mengukir senyum tipis di wajah.

Tidak apa. Sepertinya mereka telah mendengar kabar buruk mengenai kedua orang tuaku.

Bagaimana tidak? Kabar meninggalnya kedua orang tuaku secara tragis akibat kecelakaan di tengah lilitan utang sudah tersebar luas di saluran televisi nasional. Siapa saja yang melihat tayangan itu sudah pasti akan mengetahui kebangkrutan yang menimpa perusahaan kedua orang tuaku.

Sudah beberapa hari aku mencoba menguatkan hati, tetapi pada akhirnya, tetap saja aku harus merasakan pedihnya luka. Namun, setidaknya aku tersadar. Dari kejadian nahas yang menimpa keluarga, aku jadi tahu bahwa mereka yang mengaku sahabat, tidak lebih dari sekadar gadis-gadis bertopeng yang hanya baik di saat ada maunya saja.

Kalau sudah demikian, aku bisa apa? Rasanya bingung saat pihak bank hanya memberiku waktu satu minggu untuk mengemasi barang-barang pribadi. Sisa harta yang dimiliki orang tua bahkan belum cukup untuk membayar utang perusahaan hingga rumah yang biasa kami tinggali pun harus menjadi korban.

Niat untuk meminta pertolongan pada para sahabat pun menguap begitu saja seiring dengan pedih yang perlahan menyusup ke dalam hati. Tidak apa. Sepertinya Tuhan memang sengaja mengirim ujian ini padaku. Karenanya, aku harus bisa lebih kuat. Ya, aku pasti bisa menjadi pribadi yang lebih kuat meski rasanya tidak mudah untuk dijalani.

Di kejauhan, kulihat Rendi muncul dengan motor sport-nya. Tangan kananku sudah siap mengayun ke udara untuk menyapa, tetapi urung ketika kudapati tatapan dingin dari kedua netra milik Rendi.

Senyum miris kembali terlukis di wajahku. Kejutan yang harus kuterima di hari yang sama, benar-benar di luar dugaan.

Bagaimana bisa Rendi turut bersikap demikian? Sedangkan beberapa hari yang lalu, saat berita buruk tentang keluargaku tersebar, dia masih bersikap baik-baik saja dan masih memanggilku dengan sebutan ‘sayang’.

Sudahlah. Tidak ada gunanya aku terlalu memikirkan apa yang terjadi. Fokus utamaku hanya tertuju pada satu hal. Ke mana aku harus mencari tempat tinggal baru? Bagaimana pula dengan sekolahku yang hanya tinggal beberapa bulan lagi? Tekad untuk lulus dengan nilai bagus pun sudah tidak terpikirkan lagi.

Rasanya percuma saja. Lulus sekolah atau tidak, pada kenyataannya, aku tidak akan bisa melanjutkan untuk belajar di bangku kuliah karena uang tabunganku pun ikut lenyap.

Bel tanda masuk berbunyi bersamaan dengan jemariku yang berulang kali menekan rasa nyeri yang hinggap di pelipis. Ditambah lagi, aku harus melihat Rendi yang tidak menyapaku sama sekali, justru menggandeng lengan Anin menuju kelas kami. Sungguh, aku harus benar-benar bersabar dalam menghadapi cobaan yang bertubi-tubi.

Lihat selengkapnya