Lima hari sudah aku kembali ke rumah, menjalani rutinitas seperti biasa. Hiruk pikuk manusia sudah terlihat, meski masih terbilang pagi buta. Pukul setengah lima.
Bersama running shoes, aku berlari kecil mengelilingi kompleks hunian yang kutempati sendiri. Sudah sejak melibatkan diri dalam perusahaan, aku melepaskan diri dari kediaman Papa. Beralasan ingin mandiri, padahal sebenarnya ingin bebas saja.
Entah pada jarak tempuh ke berapa, aku memilih merapatkan diri di kedai bubur ayam paling enak satu kompleks. Rasa lapar sudah kurasa sejak beberapa menit lalu.
Aku bukan pengguna aplikasi lari, sebagaimana yang teman-teman gunakan. Aku hanya suka lari, bukan untuk postingan Instastory.
Baru saja menyuap dua kali, ponsel di saku celana training bergetar, diikuti bunyi panggilan masuk.
“Kaos, Bro! Kaos.” Suara Angga terdengar panik dari seberang.
“Kaos apa?” tanyaku tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Kantor kaos, Bro! Ke sini sekarang, deh!” Nada suara Angga meninggi dan terdengar tidak sabar.
Aku memutus sambungan telepon segera, lalu melahap bubur ayam beberapa suap lagi. Ya, aku masih lapar. Sayang kalau tidak dihabiskan. Apalagi rasanya lumayan.
Setelah memesan ojek online melalui aplikasi ponsel, aku pergi ke kantor tanpa ganti baju terlebih dahulu. Sudah tidak sempat, pikirku.
Hari masih terlalu pagi untuk jam berangkat kerja maupun berangkat sekolah, sehingga jalan masih cukup lengang. Aku sedikit lega, karena bisa segera sampai di tempat yang kutuju.
Hanya beberapa menit saja aku menghabiskan waktu untuk menempuh perjalanan. Langkah kaki segera terayun memasuki ruangan. Angga dan Dania sudah duduk berdua sambil berdiskusi di sana.
“Pemasok kayu langganan perusahaan kita, menghentikan kontrak kerja sama.” Kalimat Angga menyambutku yang baru saja tiba.
“Untuk pasokan bulan ini, apa sudah beres?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya.
“Sudah Mas Bian, hanya sampai pada kontrak berakhir,” jelas Dania yang masih duduk di depan komputer.
“Mereka itu industri pengolahan kayu primer dengan harga relatif murah dibanding yang lain, Yan!” imbuh Angga.
Aku hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan mereka.
“Dania, tolong siapkan data analisis produk, penjualan, dan harga pasar, sebelum makan siang kita bisa rapat sama tim produksi. Setelahnya aku akan melakukan kunjungan ke workshop.”
Aku memasuki ruang kerjaku, memijat kening yang kini terasa pening. Dalam keadaan yang menuntutku berpikir jernih, aku butuh ruang sendiri, sepi, dan tidak diganggu oleh siapa pun.
Tangan kananku terulur untuk meraih buku yang belum selesai kubaca, tentang manajemen emosi. Kubuka halaman pada bagian di mana sisinya terlipat.
Sebuah foto ukuran 4x6 turut terselip di dalam. Dengan latar belakang senja dan pantai, membawa ingatanku kembali berkelana, pada hari-hari penuh ketenangan saat berlibur di Yogyakarta. Foto utama ini, mengabadikan seorang gadis yang sedang tersenyum manis. Menenangkan.
Akankah pantai menjadi saksi pertemuan kami kembali?
Menyembuhkan kerinduan yang telah melepuh