Daun pintu dengan ukiran bunga mawar terbuka lebar bersamaan dengan anak pemilik rumah yang terlihat dari baliknya. Wajahnya serupa kardus dilipat. Lalu, gadis bernama Nia itu menjauh pergi dengan mengentakkan kaki. Entah apa salahku kali ini. Bahkan aku tidak tahu kenapa Nia bisa bersikap seperti itu.
Aku masih mematung di ambang pintu. Haruskah selamanya aku menumpang di keluarga ini? Sedang yang kutahu, seisi rumah selalu saja tidak acuh padaku, menganggap diriku seolah tidak pernah ada di tempat ini. Apa mungkin mereka terbebani dengan keberadaanku di sini?
Satu tarikan napas dalam-dalam kulakukan sebelum melangkah memasuki rumah. Suami Bulik seperti menghindar ketika melihat kedatanganku. Jelas kentara dari gestur yang diperlihatkannya saat mematikan televisi di ruang tengah yang tampak dari tempatku berdiri. Lelaki paruh baya itu bergegas menuju kamar dan membanting pintu dari dalam.
Tidak apa, aku sudah sering mendengarnya. Kurasa, telingaku menjadi cukup kebal karenanya.
Sejujurnya, aku sangat lelah hari ini. Banyak sekali barang baru yang masuk ke swalayan dan aku harus melakukan pengecekan sesuai dengan perintah Bulik. Sampai-sampai, jadwal soreku untuk menulis di pantai tidak bisa terlaksana karena pekerjaan baru selesai saat jarum pendek jam dinding di swalayan menunjuk angka lima dengan jarum panjang menunjuk angka dua belas.
Setelah menutup kembali pintu yang terbuka, aku segera melangkah menuju kamar. Suasana dalam rumah cukup lengang karena seorang asisten rumah tangga yang biasa datang membantu, hanya datang pagi dan pulang sore.
“Keberadaan kamu di sini sudah bikin ramai, males aja kalau harus nambah penghuni lain lagi.” Seperti itu yang pernah dikatakan Bulik padaku.
Usai mandi dan mengganti pakaian dengan yang bersih, aku berpindah ke dapur untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Tidak ada apa pun yang tersaji di meja makan. Hanya tersisa sebungkus ayam goreng taliwang yang tersedia dalam bentuk mie instan.
“Enggak apa, Fe. Makan ini aja sudah cukup kenyang, bukan?” kataku pada diri sendiri sembari membolak-balik mi instan yang sudah berpindah dalam genggaman.
Jika saja aku tidak menghasilkan apa-apa dari menulis, sudah bisa dipastikan usus-usus dalam tubuhku menjadi keriting karena terlalu banyak mengonsumsi mie instan. Ya, keluarga Bulik jarang sekali menyisakan nasi barang satu sendok pun setiap kali aku pulang kerja.
“Sudah mending kamu diajak sarapan tiap pagi, Fe. Enggak usah protes! Harusnya tuh, kamu berterima kasih!” Aku kembali menggumam dengan suara lirih agar tidak ada yang mendengar.
Demi apa aku harus menerima perlakuan seperti ini setiap hari? Sungguh berbanding terbalik dengan duniaku dulu ketika kedua orang tuaku masih ada. Aku selalu hidup berkecukupan dengan gelimang harta, milik orang tuaku tentunya.