Seharusnya, cuaca panas di kotaku
Bisa membakar rindu
Kepada ia yang tak kukenal
Kepada ia yang menjadi misteri alam
Sedang tidak ingin bercanda dengan semesta
Namun, jika hendak tertawa
Kubuat tebak-tebak kata
Ia orang asing
Kutemui di tempat asing
Jika waktu menyulam temu kembali
Apa berarti kami (akan) tak asing lagi?
“Nulis apa, Bro?” Angga memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuat pandanganku secara otomatis berpindah ke arahnya.
“Kalimat,” jawabku singkat. Kututup segera, buku bersampul hitam terbuat dari kulit yang terbiasa menjadi tempatku menggoreskan pena.
“Pasti puisi,” tebak Angga.
Aku mengabaikan apa yang Angga sampaikan. Setelahnya, aku lebih memilih memasukkan buku tersebut ke laci meja.
Meski sebenarnya yang Angga tebak itu benar, aku tidak ingin menunjukkan puisi-puisiku. Karena Angga pasti tahu, puisi yang kutulis selalu bertuan. Tidak mungkin, tanpa suatu hal, aku menulisnya.
“Lagian ya, Yan. Kamu itu aneh, tahu? Mana ada anak teknik suka nulis puisi, terus kerjanya di kantoran?”
“Ada.”
“Siapa?”
“Aku.”
Angga menggeleng sambil mendecak. Sudah biasa.