Aku sedang memasukkan beberapa camilan ringan ke dalam tas punggung sesuai permintaan Nia. Kurasakan hawa dingin menyelusup sampai ke tulang meski hoodie besar sudah melekat pada tubuh.
Tentu saja hawa dingin masih menyelimuti. Waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB, sedangkan aku dan Nia harus berangkat tepat pukul 05.00 mengingat jarak sekolah Nia yang cukup jauh.
“Cepetan sitik iso enggak, sih? Lelet banget jadi orang! Pak Darman wis nunggu suwi tuh! Nek telat ya piye, je?”1 Nia bersungut-sungut sembari memasuki kamarku dan melempar tasnya ke hadapan. Apa maksudnya?
“Nia, kalau minta tolong yang bener, dong,” kataku sembari mendesah lelah. Sungguh tidak sopan main lempar begitu saja.
Nia bukannya merasa bersalah, dia justru berkacak pinggang seolah menantang. “Siapa bilang aku minta tolong? Kuwi perintah, ngerti enggak, sih? Jangan bodoh jadi orang!” pekiknya lantang.
Kalau saja Nia bukan anak bulik, kalau saja aku sedang tidak menumpang di rumah mereka, pasti aku sudah maju dan menjambak rambut panjang Nia sampai botak kepalanya. Bagaimana tidak? Sikapnya padaku sungguh terlalu. Padahal, sikapnya terhadap asisten rumah tangga di sini tidak separah itu. Entahlah.
“Nopo mendelengi aku?2 Enggak seneng, aku perintah?”
Suara gaduh yang diciptakan Nia, sepertinya sudah mengganggu ketenangan tidur suami Bulik. Karena beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu dibuka lantas ditutup kembali dengan kasar, disusul suara bernada tinggi milik lelaki itu.
“Nia! Ini masih pagi buta kenapa harus berisik sekali? Papa masih ngantuk, Nia! Dan kamu, Syafea! Apa enggak bisa, sedetik aja enggak buat Nia kesal, hah? Turuti saja apa maunya, susah amat!”
Aku sedikit membeku saat mendengar namaku turut disebut. ‘Turuti saja apa maunya’, katanya. Dia pikir aku siapa? Asisten pribadi Nia? Aku hanya bisa mendesah lelah. Tanpa mengatakan apa pun, aku melanjutkan aktivitasku untuk mengemasi barang bawaan.
Kalau boleh jujur, aku ingin sekali menangis. Mengingat masa kejayaan orang tuaku, Bulik dan suaminya sering datang untuk meminta bantuan.
Mendiang ayah yang sangat menyayangi Bulik bahkan tidak segan mengeluarkan berapa pun uang yang dibutuhkan Bulik sampai adik perempuannya itu bisa sukses seperti sekarang. Lalu, apa balasan mereka saat orang tuaku sudah tiada? Perlakuan mereka padaku sungguh semena-mena.
Sabar Fea, sabar! Kamu pasti bisa melalui ini semua. Kamu harus semakin rajin menulis dan berusaha untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Setelah semua terkumpul nanti, kamu bisa mandiri, bisa tinggal sendiri di luaran sana dan bisa kuliah tanpa merepotkan keluarga Bulik lagi. Yah, sepertinya memang itu lebih baik!