Sepulang dari rumah Papa, aku banyak berpikir tentang apa yang orang tuaku sampaikan. Apa benar, aku terlalu jahat pada Airin? Akan tetapi, aku sudah memberi tahunya untuk segera pergi, jika tidak mau lagi menunggu.
Lagi pula, aku tidak memaksanya untuk menunggu. Airin sendiri yang tetap di tempatnya, tanpa membuka kursi untuk orang lain. Meskipun, aku sendiri tidak mengatakan bahwa kursi itu milikku.
Ponsel yang teronggok di atas meja berdering. Fokusku menentukan pakaian mana yang akan kupakai, terganggu seketika. Nama Airin terlihat pada layar, dan aku segera meraih benda pipih tersebut tanpa ingin membuatnya lama menunggu.
“Halo, Mas Bian. Maaf mengganggu pagi-pagi.” Suara lembut Airin menyapa gendang telingaku.
“Ada apa, Rin?” tanyaku tanpa basa-basi.
Akhir-akhir ini, aku sering dibuat khawatir karena Papa sering menghubungi Airin untuk bertanya atau mengatakan sesuatu tentangku. Sudah kusampaikan ke Papa kalau itu mengganggu Airin. Akan tetapi, Papa selalu menang dengan alibi-alibinya.
“Mas Bian hari ini kosong?” tanyanya lagi.
“Aku ada janji sama Angga. Kenapa memangnya, Rin?”
“Enggak, Mas. Saya pikir Mas Bian enggak ada agenda seperti akhir pekan biasanya.”
Ternyata tidak hanya Angga, Airin juga berpikiran hal serupa. ‘Akhir pekan Fabian selalu dihabiskan di rumah saja.’
“Itu, Mas ... sebenarnya saya hanya mau ngabarin, kalau penulis kesukaan Mas Bian, hari ini mau jumpa pembaca di toko buku langganan saya. Saya sengaja ngabarin Mas mendadak, karena rencana mau kasih kejutan ke Mas Bian. Tapi enggak tahunya, malah Mas Bian sudah ada janji duluan,” jelas Airin dari seberang.
Aku menghela napas panjang. Kalau bukan tentang tanggung jawab menepati janji sebagai laki-laki, aku akan segera lari ke toko buku yang dimaksud Airin.
Penulis idolaku itu adalah penulis terkenal yang lumayan sibuk dengan jadwalnya yang padat. Ya, setahuku begitu. Seharusnya hari ini menjadi momentum yang bagus ketika dia mau melakukan jumpa pembaca sehingga aku bisa bertemu dengannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah lebih dulu berjanji pada Angga.
“Maaf, Rin. Waktunya enggak pas,” balasku sambil menghela napas.
Meskipun aku tahu Airin mungkin kecewa, dia berusaha menyembunyikannya dengan jawaban, “Ya sudah, enggak apa-apa, Mas Bian. Mungkin lain kali saya bilang dulu beberapa hari sebelumnya ya, enggak sok-sok ngasih kejutan gini, tapi tahunya Mas enggak bisa.”
“Oke, Rin.” Tidak tahu lagi jawaban seperti apa yang harus kusampaikan padanya.
“Maaf mengganggu waktunya, Mas. Kalau gitu, saya matikan dulu teleponnya, ya? Mas Bian selamat beraktivitas,” ucapnya disusul salam, kemudian nada panggilan terputus.
Aku meletakkan ponsel kembali ke meja dan bergegas mengganti pakaian sebelum berangkat menepati janji yang telah kusepakati dengan Angga. Ah ... tidak, lebih tepatnya Angga memaksa secara sepihak.