Di Bawah Langit Senja

MoreShinee
Chapter #9

Bab 9 Syafea - Sesuatu yang Mengganggu

Lelaki itu bermana Bian. Aku mendengar dengan jelas ketika dia memperkenalkan diri. Nama yang bagus, sesuai dengan pemiliknya.

Memang benar kata salah seorang Ibu wali murid yang sempat mengatakan bahwa Bian ganteng, membuat anak gadisnya sontak mendekati sang Ibu dan mencubit lengannya. Mungkin anak itu malu dengan sikap ibunya.

Aku menyimak acara perkenalan itu dengan saksama. Melihat caranya berbicara, sepertinya Bian adalah orang terpelajar.

Usai acara perkenalan, Bian membawa rombongan menuju dermaga. Dia mengatakan bahwa kami harus menaiki perahu sampai pada dermaga lain yang di sana terdapat beberapa gazebo juga beberapa spot foto yang bisa digunakan untuk swafoto. Namun, tidak boleh bergerombol. Entah kenapa.

Aku sengaja menjauhkan diri dari Nia. Dia bilang, tidak ingin temannya tahu bahwa aku adalah saudara sepupunya. Mungkinkah Nia mengatakan pada teman-temannya bahwa aku adalah pesuruhnya?

Stop, Fea! Kamu tidak boleh berpikiran negatif, karena akan berimbas pada kesehatan mentalmu sendiri. Aku menggumam dalam hati.

Kulihat satu per satu siswa menaiki perahu. Bian mengatakan, kami akan menyusuri sungai selama kurang lebih sepuluh menit sampai tiba di dermaga yang kami tuju. Nia telah lebih dulu menaiki perahu, sedangkan aku sengaja memilih belakangan.

Aku sedikit keberatan membawa tas punggung milik Nia, beserta tas jinjingku dalam genggaman yang berisi beberapa barang milikku yang telah kusiapkan sejak sebelum azan subuh berkumandang. Hingga pada detik berikutnya, aku memperhatikan satu per satu menaiki perahu dengan dibantu Bian yang tanpa segan mengulurkan tangan.

Tanpa sadar, perhatianku tertuju pada kedua netra Bian yang tertuju ke arahku. Sedikit lama hingga membuatku menoleh ke belakang. Sudah tidak ada siapa pun tertinggal, kecuali aku.

Setelahnya, aku sedikit menunduk untuk menghindari debar jantung yang mendadak berpacu lebih cepat. Ya Tuhan, aku sungguh bingung dengan apa yang kurasakan sekarang.

Tangan itu masih terulur. Saat kuberanikan diri menatap, senyumnya begitu memikat.

“Terima kasih,” kataku setengah berbisik, singkat.

Aku bisa apa ketika tanpa sengaja bertemu dengan seorang yang belakangan ini mulai singgah dalam mimpi-mimpiku? Sungguh, aku belum pernah merasakan debar aneh seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika aku menjalani hubungan dengan Rendi saat menginjakkan kaki di bangku sekolah mengangah atas. Apa karena yang kujalani saat itu masih tergolong cinta monyet?

“Aduh!” pekik seorang Ibu yang tidak sengaja kakinya terinjak olehku.

“Maaf, Bu. Saya enggak sengaja,” lirihku sembari susah payah menyatukan kedua tangan di depan dada. Aku tersenyum canggung ke arah Ibu itu yang sedang menatapku.

“Hati-hati, Mbak. Lagian bawa barang kayaknya kebanyakan. Kelihatan berat banget gitu,” selorohnya.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum samar, lantas bergerak menuju bangku paling belakang yang tersisa. Tidak apa, yang penting aku bisa duduk dengan leluasa karena tidak ada siapa pun di sana.

Tas punggung milik Nia kuletakkan di sebelah. Aku lebih memilih untuk memangku tas jinjingku sendiri, mengambil ipod nano dari dalamnya dan mendengar musik guna mengusir rasa aneh yang mendadak singgah menggelung hati.

Saat mendongak, aku kembali mendapati tatapan itu. Tatapan yang begitu tajam, tapi lembut kurasakan menusuk hingga ke dasar hati yang paling dalam.

Lihat selengkapnya