Love her as in childhood
Though feeble, old and grey
For you'll never miss a mother's love
Till she's buried beneath the clay
(Frank McCourt, Angela's Ashes)
Cahaya mentari hangat menerobos masuk dari sela-sela roller blind, menelusup jauh hingga ke permukaan meja yang berisi tiga porsi nasi goreng hangat yang asapnya mengepul. Ibu masih punya waktu semenit lagi melengkapinya dengan teh hangat. Begitulah cara Ibu memulai hari. Bersama kami, maksudnya aku, Asha anak perempuan satu-satunya, dan kakak laki-lakiku Nabil Hakaru-- arti nama Hakaru, menurut ayah adalah peneliti. Namanya pemberian ayah, karena Kak Nabil lahir di Jepang waktu ayah menyelesaikan program studi doktoralnya di Todai, University of Tokyo.
"Sha...! keburu dingin nasi gorengnya," suara teriakan ibu melintasi void menembus dinding sampai ke kamarku di lantai atas.
"Iya Bu, bentar, tanggung nih." Aku masukkan tugas biologiku ke totebag, lalu bergegas turun setengah meluncur dengan suara berdebam saat menjejak ujung tangga.
Sambil melintas aku refleks menggedor pintu kamar Kak Nabil tepat di sisi tangga. "Bangun Kak! dipanggil Ibu, cepat!!" Aku tak menunggu reaksinya, langsung berlari turun ke tangga.
"Hati-hati sayang, anak perempuan kok begitu." Suara ibu terdengar lebih kuatir dengan kelakuanku daripada ketakutan jika aku terpeleset seperti pagi kemarin.
"Masak apa bu?"
"Orak-arik telur kesukaanmu, makan gih cepet, nanti ditinggal bus sekolah."
"Tenang bu, hari ini aku pakai sepeda, sekalian pemanasan karena jam pertama langsung pelajaran olahraga. Nih udah aku pakai seragamnya," ujarku langsung menjelaskan tanpa diminta.