Kubuka ponselku. Kuambil foto Rama dan kuperlihatkan pada ibuku.
“Cowok ini baik, Bu. Gisa kagum sama dia karena sikap tanggung jawab juga keteladanannya.”
Kulihat ibuku hanya melihat sekilas dan tersenyum.
“Oh, Ibu bentar. Ada balasan pesan darinya.”
Sambil berbaring, kuketikkan balasan perhatianku di dalamnya.
Aku terperanjak mendengar panggilan dari ayahku. “Bu, sepertinya ayah manggil Ibu.”
Aku bersama ibu menghampiri ayah di kamar. Kusentuh lengan juga kaki ayah yang sudah mengalir keringat dingin.
Kulihat ibu dengan sigapnya mengambil tempat memasak air hangat, lalu menyalakan kompor. Aku duduk di sebelah ayah yang sedang menahan rasa nyeri di lambungnya. Sudah bukan sesuatu yang asing lagi ayahku mengalami hal seperti ini. Karena beliau memiliki riwayat penyakit maag kronis. Pemandangan yang sewaktu-sewaktu bisa terjadi ketika ayah terlalu banyak pikiran.
Sehari sebelumnya, ayah harus menghadapi pernyataan dari kakak tiriku mengenai warisan yang akan dibagikan kepadaku juga kakakku. Meskipun aku tak mendengar begitu banyak percakapan mereka, tapi pada intinya ada perdebatan antara ayah juga kakakku. Rasanya begitu sangat bersalah kenapa sampai kakakku berpikiran sempit seperti itu. Padahal aku dan juga ibu sudah hidup bertahun-tahun bersamanya; mencoba menjadi keluarganya sejak tahun 2005 lalu.
“Kenapa begitu teganya dia memutarbalikkan fakta pada kakakku?”
Kejadian siang hari, ketika hanya aku yang ada di rumah sendirian. Aku mendengar kalimat yang tidak mengenakkan untuk didengar dari tetanggaku sendiri.
“Eh, Bu. Ngerti nggak? Tadi aku mau minta cabe ke rumah Banu, nggak boleh sama anaknya si Hana itu,” ucap Rini.
“Loh, kok pelit gitu, yah, Mbak?”
“Yah, nggak tahu tuh gimana si Hana ngedidik anaknya.”
Kalimat yang sangat bertolak belakang dari kebenaran. Padahal aku sendiri memergoki bu Rini mengendap-endap ke dapur rumahku dan tak sengaja aku melihatnya.
“Gara-garai cabai, ibuku sampai difitnah kayak gini? Untung aja ibu nggak denger. Tapi jujur aja, aku yang denger rasanya nyesek banget. Belum juga kakakku yang diracuni perkataannya, kini saudaranya juga tetanggaku yang lain diberitahunya hal yang salah seperti itu. Benar-benar tega.”
Dadaku terasa sesak. Air mataku tak berhentinya mengalir. Rasa hati ingin mengumpat betapa kejamnya perkataan bu Rini. Tapi aku sadar siapa diriku. Seorang yang lebih muda darinya. Yang takut justru akan menimbulkan masalah lebih panjang urusannya. Yang hanya mampu menyimpan semuanya dalam hati.
Aku merasa sangat benci dengan sikapnya. Entah kesalahan apa yang kuperbuat bersama ibuku, sampai-sampai seperti itu pemikirannya.
“Apa kejadian kegagalan pernikahan ibuku yang kedua bakal terulang lagi?”
Tiba-tiba bayangan masa lalu yang membuat rasa traumaku timbul lagi. Aku tidak tega dengan ibuku yang harus terlunta-lunta sampai saat ini. Selalu mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan seperti ini.
TTT
Kembali aku diingatkan dengan isi story, yang sudah beberapa lama ini aku harus vakum dari dunia Band. Ingatanku tertuju pada kisah masa lalu, saat aku memperjuangkan perasaan seseorang yang jauh di sana; seorang penyiar radio yang kutemui tahun 2016 silam.
Jauh dari kota sendiri, banyak kilometer kulalui. Rop air yang menghempas perjalananku masih terasa hingga kini. Aku menangis, tak menyangka bisa bertemu seseorang yang kukagumi. Berjabat tangan dengannya dan berhadapan dengannya.
Seperti mimpi sedekat ini dengannya, bahkan aku bisa berduet dengannya.