Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #7

Awal tanpa Pamit

Aku paling lemah jika mengingat jalan menuju lokasi suatu tempat. Wajar saja karena aku baru bisa mengendarai sepeda motor saat lulus SMA. Dan salah satu kelemahan dalam hidupku dulu yang sangat ingin kulawan. Jika bukan karena nenekku yang mendesakku untuk mencoba belajar, mungkin sampai saat ini aku tidak bisa naik motor.

Memang benar. Mencoba sesuatu yang belum pernah kita lakukan sangat berat di awal. Motor saudaraku harus menjadi korbannya. Tidak sekali dua kali aku harus terjatuh dan saudaraku harus kewalahan mengajariku. Aku juga belajar untuk melawan rasa maluku dilihat oleh orang lain yang mungkin merasa aneh dengan tingkahku yang selalu salah dalam menjalankan sepeda motor. Tapi aku berniat untuk bisa. Aku ingat dengan waktu dulu saat belajar sepeda.

“Kalau dulu aku bisa, pasti ini juga bisa,” pikirku seperti itu.

Aku bingung harus nebeng dengan siapa untuk menghadiri pertemuan panitia dan pengurus kali ini. Meskipun sudah beberapa kali pernah ke lokasi yang ditentukan, tapi aku masih saja lupa. Akhirnya kuputuskan untuk nebeng sama Bintang.

Dalam perjalanan, ada beberapa hal yang kubicarakan dengan Bintang.

“Wah, bentar lagi ketemu sama Kak Aril ya, Tang. Gimana perkembangannya?”

“Aku nggak levelnya dia, Gis. Udah, ya, jangan dibahas.”

“Oh, maaf, deh, Tang.”

“Iya. Santai aja.”

Sempat merasa bersalah. Tapi sudah terlanjur juga aku tanya soal kak Aril ke dia.

Kak Aril adalah seorang aktivis juga. Setahuku dulu baik Bintang maupun kak Aril itu dekat. Tapi aku tidak menyangka jawaban Bintang seperti itu.

Satu jam berlalu. Aku melihat beberapa motor berjejer di parkiran; tak terkeculai motor kak Rama juga. Benar saja. Ia sudah ada di lokasi dengan temannya.

Saat waktu pembayaran iuran, kukira ia akan mengantarkan sendiri uang yang harus dibayarkan. Namun, ia justru meminta temannya untuk memberikannya padaku.

Kulihat ia juga tengah sibuk dengan ponselnya. Ingin rasanya aku menyapa. Atau kalau tidak sekedar ‘Say Hai’ padanya. Tapi kembali lagi kuurungkan niatku.  

 

Setidaknya, hari ini aku bisa melihatnya lagi. Meski tak ada obrolan yang mungkin bisa mendekatkanku dengannya.

 

Entah suatu kebetulan, aku harus menyelesaikan beberapa hal hingga aku harus ke tempat parkir termasuk yang paling akhir, yang membuat Bintang harus menungguku. Dari kejauhan, aku melihat Bintang ngobrol bersama dengan kak Rama. Langkahku semakin melambat. Rasanya berat untukku langkahkan, padahal hampir dekat. Sekali lagi aku hanya mampu tersenyum sendiri melihatnya pergi.

 

TTT

 

Persediaan kertas gambarku kian menipis. Aku berniat ingin membeli sketchbook, tapi aku tidak ada waktu keluar untuk membeli. Akan sangat tidak enak jika harus sampai izin dengan bosku.

 

Bastian

Bas, aku boleh minta bantuan lagi nggak?

Apa?

Kamu, kan, biasanya pergi beli peralatan kerja,

boleh tidak kalau aku nitip sketchbook sama cat air?

Pakai uang kamu dulu. Entar aku ganti, deh.

Ok. Kamu minta yang jenisnya apa?

Karena aku baru belajar, yang standard buat gambar aja, Bas.

Entar kalau udah PRO, baru deh beli yang kualitasnya tinggi. Hehehe.

Tapi, nggak sekarang, kan?

Nggak, kok. Aku juga nggak begitu terburu-buru.

Yang penting nggak repotin kamu aja.

Lihat selengkapnya