Empat hari berlalu, pikiranku kembali ke Mas Dava.
Dava
Kemarin waktu ketemu, kok, senyum ke arahku Mas?
Apa dirimu tahu tentang aku?
Tahu dong.
Kamu kan gitaris itu, kan?
Kok, masih inget aja sih, Mas?
Dulu kita pernah chating-an meski belum pernah ketemu.
Iya, nggak terlalu kenal juga, sih. Kamu juga jago mainnya.
Aku juga masih belajar, kok, Mas. Hehehe
Oh, iya. Kan udah lama nih lost kontak, boleh bagi nomor WA-nya Mas?
Wah, modus kamu.
081252xxxxxx
Iya, nggak gitu juga, Mas.
Makasih Mas Dava.
Tak pernah terpikir olehku, jika ia masih ingat perkenalan dulu. Meski tanpa tatap muka, tanpa temu. Bahkan ia masih ingat, kalau aku juga bisa main gitar. Senyumku mulai mengembang meski ada dalam suasana hati yang tak karuan karena kak Rama.
Aku teringat kejadian empat hari yang lalu di acara kemarin. Aku tak tahu apa salahku, kak Rama terlihat seperti tidak biasanya. Ketika aku mengajaknya bicara, dia malah sibuk dengan ponselnya.
“Kak Rama nanti pulangnya lewat mana?”
“Jalan biasanya.”
“Iya, hati-hati, Kak.”
Entah ia mendengar perkataanku atau sengaja membiarkanku. Serasa dikacangin saja. Dia menjawab pun sekenanya.
Kudengar ada bunyi klakson yang dibunyikan. Ketika kutengokkan kepalaku ke samping kanan ternyata ada kak Rama yang melewatiku. Dan yang ia klakson itu Bintang juga Shasa; bukan diriku.
Apa aku ini tidak pernah dianggap sebagai temannya? Kenapa hanya Bintang dan Shasa? Apa salahku?
Dalam perjalanan, aku ingin membiarkan sikap kak Rama biasa saja. Namun kenyataannya, kejadian yang sudah beruntun ini membuatku terus memikirkan kesalahan apa yang tak sengaja kulakukan; yang membuatnya berubah seperti ini?
“Kenapa keadaan berubah secepat ini? Atau sebenarnya sudah lama, hanya saja aku yang tidak merasa?”
Menebak-nebak sesuatu itu sangat menyebalkan.
Kita harus dipaksa untuk menjawab apa yang menjadi pertanyaan kita sendiri.
Namun sayangnya, justru muncul jawaban yang membuat kita semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Alih-alih mengabaikannya, sampai terbawa tidur pula jadinya.
TTT
Melihat pemandangan di pagi hari—kesibukan ibu yang selalu tak terlihat rasa capeknya itu—membuatku merasa belum berhasil menjadi seorang anak yang bisa membahagiakannya.
Apa aku terima saja tawaran kerja kemarin, ya? Tidak bisakah aku mencobanya terlebih dulu? Tapi, gimana harus menjelaskannya pada Bos-ku saat ini? Nggak lucu, kan, kalau aku pergi karena alasan gaji? Sedangkan ditempat kerjaku sekarang, aku bisa sedikit demi sedikit meraih impianku.
Di tempat kerja ada keyboard, drum yang dimodifikasi sederhana milik saudaraku, juga gitar akustik milik bosku menjadi alat untuk band-ku berlatih. Sesekali, aku harus menghentikan latihanku bersama mereka, karena harus tetap melayani para pembeli.
Hujan, ban bocor, serta kejadian konyol lainnya, mengiringi perjalanan kami untuk mengisi di sebuah resto di kota kami. Aku masih ingat dengan makanan yang disuguhkan oleh pihak resto; makanan yang hanya kelas atas saja yang bisa menikmatinya. Berhubung aku tidak terbiasa makan di resto, rasanya sangat aneh sekali. Apalagi ada tamu lain yang bersamaan dengan kami.
Bukan menikmati makanan yang tersedia di hadapanku, aku justru melamun. Aku tidak pernah bisa membayangkan, setidaknya bisa merasakan apa yang hanya orang kaya sudah biasa menikmatinya.