Melihat tatapan ibu kepadaku, sepertinya ada yang ingin dibicarakannya.
“Nak, Niki bentar lagi mau nikah.”
“Iya, Bu. Kak Niki udah pacaran lama. Jadi, wajar kalau dia mau menikah.”
Tanpa ingin menimbulkan perdebatan, segera kuletakkan tas ranselku ke kamar, mencuci muka serta kakiku. Di dalam kamar mandi aku merenung. Tanpa terasa air mataku terjatuh.
Asal Ibu tahu, aku belum merencanakan menikah, karena aku masih berjuang untuk membahagiakanmu. Karena aku sadar, kalau aku menikah diwaktu aku masih ingin meraih impianku, akan sangat beda jadinya. Aku tidak mau keluargaku nanti terkesampingkan karena aku masih serius dengan apa yang selama ini sudah aku perjuangkan. Tolong bersabarlah, ibu.
Aku hanya bisa mengatakannya dalam hatiku. Aku masih meramu kata-kata supaya tak menyakiti ibu atau ayahku. Tapi aku juga belum tahu cara menjelaskannya bagaimana.
“Semoga, suatu saat nanti ada waktu yang tepat untukku bisa menjelaskan alasanku.”
Tolak ukur kepemilikan rumah, mobil, pekerjaan mapan, bahkan kesuksesan lainnya,
bukanlah ukuran kebahagiaan sebenarnya bukan?
Tak bisa diartikan, tawa dan pencapaian adalah sisi bahagia yang ingin ditunjukkan.
Kabar baiknya, itu bisa jadi pemompa semangat orang lain, bahkan juga diriku.
Tapi sekali lagi, bukan untuk dijadikan bahan perbandingan.
Maafkan aku, ibu.
Aku menyerah, jika itu yang kau harapkan dariku. Aku punya cara sendiri.
Maafkan keegoisanku untuk hal satu ini.
Pertimbangan dari hidup masa lalumu, kujadikan cermin untuk menyiapkan diriku.
Berkali-kali aku bertanya dalam diriku sendiri; apakah aku sudah siap, padahal usia sudah seperempat abad?
Dalam lubuk hatiku terdalam aku masih terbayang-bayang dengan pengalaman pahit masa kecilku. Aku tidak mau kejadian yang sama terjadi pada keluargaku nanti. Tapi bukan berarti aku ingin menyalahkanmu. Tidak, Bu.
Izinkan aku untuk benar-benar yakin dengan keputusanku sendiri. Tolong bantu aku dalam doamu, supaya aku tak salah dalam memilih atau ditetapkan sebagai pasangan seseorang.
Aku tahu cerita hidupku berbeda dengan ibu. Tapi aku perlu waktu untuk benar-benar bisa menjadi istri dan ibu bagi keluargaku nantinya.
Aku mohon, bersabarlah.
Aku tidak mau karena tuntutan usia, juga lingkungan, membuat ibu meragukan rasa percaya ibu sendiri terhadapku.
TTT
Memilih menerima menjadi seorang ketua, kukira semua pengurus, serta anggota yang lain bisa diajak kerjasama dengan mudah. Jadi, tanpa ragu aku meng-iya-kan jabatan itu. Aku menerimanya karena kerinduanku untuk bisa menjadi berkat bersama dengan teman-temanku yang lain. Namun aku sadar, seperti halnya piring yang diletakkan dalam satu rak yang akan berbenturan jika diletakkan berdampingan. Apalagi dalam suatu komunitas ada banyak kepala dengan pemikiran yang berbeda.
Memilih mengalah adalah keputusan yang sering kulakukan. Bukan berarti aku mengalah karena aku benar-benar tak bisa apa-apa. Tapi karena aku tipe orang yang tak mau ada perselisihan. Sebisa mungkin, aku tetap menjaga kerjasama antar satu tim yang aku pegang saat ini.
Sampai suatu kali aku tak kuasa menahan air mataku di hadapan teman-temanku. Aku tidak ingin memperlihatkannya. Sama saja itu akan membuat mereka meragukanku karena aku begitu lemah di hadapan mereka. Tapi aku juga manusia biasa. Aku juga tidak ingin menuntut banyak dari mereka.
“Kalau ada pemilihan ketua lagi, kamu nggak usah ikut saja, Nak,” ucap Hana.
“Tapi, sebagian besar teman-temanku memintaku untuk bisa menjadi calon ketua lagi, Bu. Aku sebenarnya ingin istirahat dan mengintrospeksi diriku. Namun apa daya, aku yang harus jadi ketua lagi.”
“Tapi kalau jadinya seperti ini, kamu juga yang harus pusing. Ibu juga nggak mau lihat kamu menangis terus-terusan setiap kali pulang dari rapat.”
“Bagaimanapun juga ini sudah jadi tanggung jawab Gisa, Bu. Sebisa mungkin Gisa akan bertahan.”
“Kita harus sadar, Nak. Orang-orang seperti kita yang tidak punya apa-apa, seringkali disepelekan. Jadi, kalau sejak awal itu sudah jadi keputusan kamu, Ibu harap itu tidak menjadi beban untukmu. Tapi jika iya, jangan paksakan dirimu.”
“Tapi sudah sejauh ini, Gisa bertahan, Bu. Kalau Gisa berhenti sekarang, itu menunjukan kalau Gisa menyerah dan tidak bertanggungjawab dengan tugas yang Gisa emban.”