Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #10

Pilihan Bukan Permainan

Langkahku terasa berat untuk turun dari mobil. Kenangan rasa sakit hatiku seperti masih mengikutiku sampai rumah. Kuletakkan tas juga pakaian kotorku.

“Mandi lalu makan bakso yang pedes sepertinya enak.”

Aku meminta tolong ayahku untuk membelikanku bakso yang tidak jauh dari rumahku.

Ditemani ibu menonton tv, kulahap satu persatu bakso dari mangkok. Namun masih saja pikiranku tertuju ke masalah kemarin. Rasa kenyang dan pikrianku yang hampa membuatku tak terasa terlelap di depan tv. Sama sekali aku malas untuk memegang ponselku. Lagi pula masih aku charger karena habis battery-nya.

Aku terbangun dan beranjak mengambil ponselku di meja kamar. Rasanya, tanganku dan perasaanku tak kuat lagi menahannya.

 

Bintang

Tang, maaf soal sikapku kemarin denganmu.

Aku nggak bisa mengontrol sikapku.

Kenapa kamu tidak jujur dari awal?

Karena kediamanmu ini justru membuatku jadi penghalang untuk kalian.

Maaf, jika setelah ini sikapku berubah padamu.

Aku tidak bisa menyangkali rasa kecewaku sendiri saat ini.

 

Kucari kontak Shasa. Kukiramkan pesanku juga padanya.

 

Shasa

Maaf, Sha. Sebenarnya selama ini aku salah paham terhadapmu.

Kukira kamu yang dekat dengan kak Rama. Tapi ternyata malah Bintang.

Maaf karena aku sempat mencurigaimu yang tidak-tidak.

Kenapa kalian malah menutupinya dariku?

Maaf jika sikapku nanti tidak bisa sepertii dulu lagi.

Entah sampai kapan, aku juga tidak tahu.

 

Air mataku tidak bisa kubendung lagi. Ditambah lagi dengan perutku yang rasanya mulai kembung. Mungkin masuk angin, atau karena aku baru saja makan bakso yang sangat pedas sekali.

Aku meringkuk di atas tempat tidurku. Memeluk gulingku; sebagai harapan bisa menahan terdengarnya isak tangisku.

Rasa lelah bertumpuk-tumpuk dalam hati dan pikiranku. Lelah menunggu dan mengagumi kini terpatahkan oleh teman dekatku sendiri.

Belajar mengikhlaskan untuk seseorang bukan sekali ini. Terakhir kali aku mengikhlaskan pernikahan dari seorang penyiar radio yang dulu sangat kukagumi. Sampai aku harus mengarungi jalanan kota besar, hujan serta pengalaman tak terlupakan lainnya untuk bisa lebih dekat dengannya.

Namun suatu hari, kabar pernikahan itu datang dari temannya yang tahu jika aku suka padanya.

Pengakuanku dulu yang tak ada balasan darinya ternyata ini jawabannya.

Rasa perhatiannya padaku, hanya bentuk perhatian sebagai seorang profesional.

Rasa gugup dan keringat dingin saat bersamanya rasanya terbuang percuma.

Kini aku harus mengikhlaskan dirinya untuk orang lain.

Perjuanganku melawan rasa takutku menyusulnya sampai ke tempatnya, ternyata tidak bisa berbuah seperti apa yang aku inginkan.

 

“Tapi ini beda lagi. Baik kak Rama juga Bintang, keduanya adalah teman dekatku. Kedatanganku saat ayahnya kak Rama dulu meninggal mungkin sudah jawabannya. Ketika saat itu ada kak Surya menanyakan Bintang datang atau tidak. Kalimat hati-hati dari kak Rama hanya sebatas ucapan teman biasa. Kenapa bisa-bisanya aku menganggapnya hal serius?”

 

TTT

 

Memilih menyibukkan diri adalah salah satu cara untuk mengalihkan pikiran dan perasaan kecewaku. Di tempat kerja aku membuka salah satu platform menulis online. Di sana aku menemukan bebagai macam artikel juga puisi yang bisa memberikanku beberapa ketenangan saat membaca dan mencoba menyelaminya.

Aku mencoba untuk membuka situsnya. Di sana dijelaskan, jika aku bisa mengirimkan tulisanku dengan prosedur yang sudah ditentukan. Tapi tidak ada fee untuk tulisan. Namun, bisa mendapatkan kesempatan untuk memenangkan hadiah jika produktif menulis, serta bisa memenangkan kompetisi yang kapan saja diselenggarakan oleh pihak mereka. Aku mulai tertarik untuk mencobanya.

“Apa aku berani mengirimkan tulisanku? Sedangkan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.”

Aku teringat dengan cinta pertamaku saat SD dulu. Aku pernah mengiriminya surat, yang kutaruh di laci mejanya. Aku lupa dulu pernah menulis apa. Seingatku, lebih kurangnya ungkapan rasa kagumku kepadanya. Semenjak itu juga, aku sering kali mengoleksi buku diary, yang di mana setiap ada kejadian yang kualami kutuliskan di sana. Bisa dibilang buku diary adalah sahabat yang bisa mengertiku kapan saja aku datang mencurahkan kegundahan hatiku padanya. Tidak pernah menghakimi atau pun mengkhianatiku. Karena hanya aku dan diary itu yang tahu.

“Semoga pengalaman menulis asal-asalan dulu bisa membuka lembaran pikiranku untuk berimajinasi.”

Beberapa artikel serta pusi lain kubaca dan kuambil apa saja yang bisa kujadikan contoh materi. Karena riset adalah adalah satu hal penting bagi sebuah tulisan. Apalagi bagi diriku yang masih amatiran.

Lihat selengkapnya