Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #11

Keinginan Vs Realita

Tibalah pergantian waktu dimana adalah hari ulang tahun mas Dava. Seharian ini aku mencoba untuk tidak menghubunginya. Mencoba untuk tetap menahan diriku, meski rasanya ingin mengucapkan sebagai orang pertama di ulang tahunnya kali ini.

Peralihan pagi ke siang, menit ke jam, telah terlewati. Seharian ini juga, mencoba menunggu waktu seraya menyibukkan diri dengan pekerjaanku.

“Tinggal tiga jam lagi. Tapi kenapa rasanya lama sekali ya? Apa nanti mas Dava mau angkat telvonku? Tapi aku belum tahu, dia jaga siang atau malam hari ini.”

Siaran televisi menjelang malam hari kuhidupkan seraya menunggu beberapa menit lagi pukul 00.00 WIB.

Kuambil ponsel di sebelah pembaringanku. Kucari nama kontak mas Dava.

 

Mas Dava

Mas Dava jaga siang atau malam?

Aku dinas malam, Mbak.

Aku boleh telvon Mas Dava, nggak?

Ada apa, ya, Mbak?

Mau ada perlu sebentar, Mas.

Maaf, Mbak, kalau aku nggak bisa angkat.

Soalnya pasien lagi ramai, nih.

Oh. Maaf Mas kalau aku ganggu.

Aku cuma mau ngucapin selamat ulangtahun secara langsung.

Tapi Mas Dava fokus ke pasien aja, Mas.

 

Pesanku masih centang dua. Beberapa kali aku mengecek tapi belum ada balasan darinya.

 

Oh, iya. Makasih Mbak.

 

Balasan yang singkat, namun penuh pertanyaan.

Tidak seperti yang kubayangkan.

Persiapan kejutan yang sudah kusiapkan seakan percuma.

Mata yang tak kuizinkan terpejam, rasanya ingin berontak pada diriku.

Story yang kubuat pun tak ditanggapinya.

“Oh, masih mending juga dia mau melihat.”

Mungkin bukan aku yang diharapkannya memberikan ucapan.

Atau hanya aku yang terlalu bersemangat saja, sedangkan dia mengharapkan orang lain.

Kupaksa diriku untuk memejamkan pikiranku.

Namun masih saja rasa kecewa karena responnya, membuatku enggan untuk menutup mata.

Terbayang-bayang akan harapan yang kubuat sendiri, lalu menyesal sendiri.

 

Semenjak aku berkomukasi dengannya, mas Dava selalu memanggilku dengna sebutan: Mbak. Aku selalu ingin bertanya padanya: Kenapa kamu memanggilku ‘Mbak’? Namun selalu kuurungkan kembali karena takut menyinggungnya.

Meski aku harus kecewa karena sikapnya, tapi aku juga tidak mau mengganggu privasinya. Lagipula aku juga tidak tahu juga, apa dia benar-benar ada pasien atau sengaja meghindariku. Tapi aku memilih tetap berpikir positif.

Pesanku beralih menjadi centang biru dua. Ingin kutimpali, tapi aku takut justru membuatnya berpikiran negatif padaku. Meski masih dalam pertanyaan yang bertubi dan kecewa karena jawabannya, sekuat hati aku mencoba untuk memejamkan mata, meski pikiran masih kemana-mana. Menenangkan diriku, menyelami tindakanku. Meski saat itu pikiranku masih belum bisa untuk menerima, namun semua sudah terlanjur.

Lihat selengkapnya