Aku tidak bisa menunda lagi memberikan kado yang sudah kusiapkan untuk Mas Dava. Sayangnya, aku juga tidak bisa bertemu mas Dava, meski dirinya pulang.
“Aku sadar aku juga siapa? Nggak mungkin pula setiap pulang, dia memberitahuku.”
Aku teringat dengan Sinta.
Sinta
Sin, aku boleh minta bantuan?
Bantuan apa ya, Mbak?
Kamu di rumah?
Aku mau minta tolong nitip kado dariku buat Mas Dava.
Ow. Iya, Mbak. Aku di rumah. Bawa sini saja.
Aku nggak ngrepotin, kan, Sin?
Soalnya aku bingung mau minta bantuan siapa lagi.
Kenapa nggak Mbak Gisa kasihin sendiri?
Kamu tahu sendiri, kan, dia juga jarang pulang.
Iya, Mbak. Besok senin aku balik pagi-pagi.
Kalau mau ke sini, datang aja. Aku di rumah, kok.
Setengah 7 malam, aku menuju rumah Sinta. Sesampainya di rumahnya, Sinta menyambutku dengan pertanyaan yang sama.
“Kenapa Mbak Gisa nggak coba ngasih sendiri ke sana?”
“Aku belum berani, Sin. Penginnya, sih, ngasihi langsung. Tapi takutnya, dia malah nolak. Jadi aku pikir, dengan titip ke kamu dia mau nerima.”
“Oh, iya. Jika dia menolak menerimanya, kamu bilang aja kalau gambar itu adalah janji aku dulu ke dia; yang mau memberinya sketsa wajah karena sudah me-like sketsa gambarku di media sosial. Mbak Gisa nggak mau ingkar janji. Kamu bilang gitu aja.”
“Itu saja Mbak pesannya?”
“Iya. Sementara itu aja nggak apa-apa, Sin. Makasih, ya, udah mau bantu aku.”
“Oh, iya. Kalau boleh tahu, kenapa Mbak Gisa sampai kayak gini?”
“Kuharap sih, Mas Dava bisa paham apa maksudku, Sin. Tapi ....”
“Tapi apa, Mbak?”
“Apa mungkin sikapnya seperti ini karena dia nggak mau ketemu sama aku, ya, Sin? Apa mungkin karena adiknya?”
“Emang ada urusan apa sama adiknya, Mbak?”
“Ceritanya panjang, Sin. Yang pasti sikap adiknya berubah. Apa mungkin karena aku berusaha mendekati kakaknya?”
“Iya, gimana, ya, Mbak? Soalnya, aku juga tidak terlalu dekat dengan Mas Dava. Tapi kalau Mbak Gisa penasaran, mungkin lain waktu, bisa tanya sama Mas Dava sendiri.”
“Lah iya itu, Sin. Dia aja susah ditemuin. Selalu mengalihkan pembicaraan jika aku bahas tentang pertemuan. Lagian aku siapanya? Nggak mungkin aku maksa dia juga, kan?”
Berharap lebih itu sebenarnya tidak salah. Tapi kamu harus bersiap dengan kenyataan,
jika apa yang kamu harapkan itu tidak memberikan balasan timbal baliknya.
Apa hatimu sudah siap kembali terluka?
Tidakkah berulang kali kamu selalu mengingatkan dirimu sendiri, untuk tidak jatuh kembali dalam jebakan perasaan yang belum pasti?
Apakah kamu siap, jika harus mengulang dari awal lagi dengan bayang-bayang patah hati, yang entah sampai kapan akan hilang dari pikiranmu sampai sekarang ini?
TTT
Setiap orang memiliki standard masing-masing. Jika kita manusia masih saja mencampuri pilihan orang lain, bisa jadi kita belum mengenal siapa mereka lebih dalam; orang yang kita remehkan karena pilihan mereka yang berbeda dengan kita. Demikian pula dengan pilihan kita sendiri.
Memiliki pilihan berbeda membuatku bisa menemukan diriku sendiri. Kenapa aku mengatakan seperti itu? Mungkin pendapatku salah.
Namun ketika aku berusaha menjadi atau mengikuti apa yang orang lakukan, rasanya aku seperti orang bodoh, yang tidak bisa menguasai apa yang bisa membuat mereka berhasil. Justru lebih seringnya, aku mengasihani diriku sendiri karena hidupku tak sama dengan mereka. Sudah keterbatasan dalam biaya, ditambah dengan penyalahan keadaan lain yang muncul dalam benakku.
Aku pun lelah juga dengan alasanku sendiri; yang justru banyak bermunculan karena kubuat sendiri. Ketidakmampuanku yang tidak bisa menyamai mereka, mereka yang didukung orangtuanya, didukung sarana-prasarana dan lain sebagainya.
Untuk itu, aku memutuskan untuk memulai menyeriusi hobiku menulis lebih dalam lagi. Bukan hanya sekedar membuat buku atau pun ingin dikenal orang melalui karya tulisanku.
Namun, mereka bisa mengambil makna dalam setiap karyaku.