Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #13

Kamu Berharga

Mengetahui hobi dan kesibukanku sebagai seorang penulis, tak jarang teman-temanku menyarankanku untuk mengikuti beberapa kompetisi menulis. Entah itu fiksi maupun non fiksi dalam skala nasional.

Bagiku, menulis memang sebuah pemecahan masalah yang ingin kutorehkan menjadi sebuah karya. Tapi jika ini berkaitan dengan kompetisi, bukan hanya rangkaian bahasa sederhana. Namun harus sudah diramu sedemikian rupa dengan prosedur tata bahasa yang baik dan benar.

Seperti halnya kebanyakan manusia pada umumnya, aku pun tak luput dari namanya tidak percaya diri dengan tulisanku sendiri. Beberapa kali aku membaca syarat dan ketentuannya, tak jarang pula ada yang harus melakukan pembayaran atau pun menjadi anggota dari komunitas menulis tersebut, yang akhirnya membuatku harus mengurungkan niatku terlebih dulu.

“Aku tahu aku salah karena menyia-nyiakan kesempatan ini. Tapi balik lagi, aku terkendala dengan yang namanya biaya. Sebisa mungkin, aku selalu mengikuti kompetisi yang memang tidak dipungut biaya terlebih dulu. Namun tidak menuntut kemungkinan, aku juga ingin mengikuti kompetisi yang berbayar. Hanya saja, masih aku pertimbangkan.”

Memiliki impian di bawah satandard manusia pada umumnya membuatku harus memutar balik otakku. Karena bagaimanapun juga, menjadi berbeda bukan perkara mudah untuk bisa diterima masyarakat. Terlebih lagi dengan pilihanku menjadi seorang penulis. Yang mana bahkan di lingkungan desa juga kotaku sendiri jarang sekali kutemui orang yang memiliki impian yang sama denganku. Rata-rata dari mereka yang juga seangkatan usianya denganku, memiliki pekerjaan kantoran atau pun pekerjaan dengan gaji yang pastinya lebih tinggi dariku.

 

Andi

Mbak, aku sebenarnya iri dengan pekerjaanmu.

Apa yang kamu irikan, Ndi?

Mbak Gisa sekarang bisa jadi penulis juga.

Aku nulis itu rata-rata nggak ada fee nya kok, Ndi.

Aslinya aku juga lelah.

Tapi aku senang melakukannya.

Setidaknya bisa membuang rasa penat dalam diriku.

 

 

Menerima pesan singkat itu dari seorang teman, membuatku patut berbangga. Meskipun pilihanku berada di bawah satndard impian manusia pada umumnya, justru membuat orang lain iri denganku. Karena baginya aku tetap bisa berkarya, meski dalam kesibukan pekerjaanku.

Padahal, aku sendiri juga merasakan iri yang teramat dalam, terhadap mereka yang bisa meraih impan mereka dengan segala dukungan yang ada. Baik itu biaya, sarana-prasarana. Namun  setidaknya, apa yang dikatakan temanku itu membuatku merasa bersyukur bahwa: masih ada orang-orang yang menghargai apa yang aku perjuangkan, meski harus kuakui banyak juga yang meragukan pilihanku saat ini.

 

TTT

 

Suka duka menjalani kehidupan di usia seperempat abad ini. Dari mantan gebetan yang kini akan segera menikah, gebetan yang kini menjauh entah karena salahku atau karena dia memang tak menginginkanku, teman-temanku yang satu persatu menikah dan karirnya sukses dibidang mereka, juga tekanan lingkungan karena usia yang itu semua harus kudapatkan. Bahkan dari orangtuaku sendiri juga selalu menanyakan hal yang sama.

Aku melihat ayah dan ibuku berada di samping teras rumah. Kulangkahkan kakiku dan duduk di antara mereka.

“Ayah, Ibu. Gisa tahu kalau Gisa salah ngomong seperti ini. Seperti tidak menghormati ayah dan ibu sebagai orangtua, yang mempunyai pengalaman lebih dari Gisa. Namun, seperti yang pernah Gisa katakan dulu, setiap manusia memiliki waktunya masing-masing bukan? Standard masing-masing setiap manusia juga beda-beda.”

Aku melihat kedua orangtuaku hanya diam.

“Oh, iya. Apa Ibu dan Ayah tahu, Gisa bersikap seperti ini bukan berarti acuh tak acuh dengan namanya pernikahan. Hanya saja, apa yang dialami dalam pernikahan oleh teman-teman juga saudaraku menjadi pertimbangan penting bagiku. Meski begitu, Gisa juga menyadari bahwa tidak semua mengalami persoalan yang sama. Ada teman Gisa yang menikah belum lama sudah bercerai. Ada juga baru beberapa hari lalu, teman Gisa harus kehilangan istri juga calon bayinya sekaligus. Ada lagi teman Gisa yang sudah bertunangan harus putus di tengah jalan. Itu semua tidak bisa diduga, kan, bu? Meski kita sebagai manusia merencanakan hal terindah untuk masa depan, namun kehendak Tuhan tetaplah yang terjadi. Jadi Gisa mohon, tolong Ibu memberitahu saudara-saudara kita, kalau Gisa tidak bisa dipaksa seperti apa yang mereka mau. Bukankah pernikahan yang menjalani adalah diri Gisa juga pasangan? Sekali lagi Gisa minta maaf akan kelancangan Gisa bicara seperti ini.”

“Sudah berapa kali kamu menjelaskan itu pada kami? Sudah, sudah nggak usah diperpanjang. Nggak enak juga didengar sama orang lain. Kalau kamu yakin bisa mendapatkan pasangan dari caramu sendiri, ya, itu terserah kamu,” ucap Hana.

Dalam hati aku menangis, tapi aku berusaha untuk tidak menunjukannya pada ayah serta ibuku. Seolah-olah pernikahan dan kesuksesan itu bagaiakan sebuah perlombaan. Tapi aku yang masih saja jauh dari garis finish. Ingin rasanya aku menambahi perkataan ibuku. Namun aku tak setega itu membuat orangtuaku sedih dengan keputusanku. Aku tahu jika mereka ingin melihatku menikah. Tapi, dengan jalur dijodohkan seperti ini, aku tidak bisa.

Meski aku salah karena tidak mencoba dulu. Tapi balik lagi, perasaan juga tidak bisa dipaksakan. Seperti halnya aku juga tidak mau memaksakan seseorang yang tidak menginginkanku. Karena aku tahu rasanya dipaksa mencintai seseorang, yang tidak kuinginkan itu seperti apa.

 

Lihat selengkapnya