Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #14

Percaya dan Bertindak

“Kenapa aku harus buka story lagi, sih?”

Aku melamun lagi. Aku melihat beberapa postingan teman-temanku setelah wisuda. Rasa iri jujur selalu datang menerpa, ketika aku melihatnya. Memakai toga yang entah kapan aku bisa mewujudkannya.

Ditambah lagi dengan iringan lagu ost salah satu drakor yang mengalun sedih, menemani pagi ini untukku meneruskan kembali naskahku.

“Sampai kapan pun, kalau ditanya apakah aku ingin kuliah atau tidak, jawabannya sudah pasti sama: ingin sekali. Sayangnya, aku tidak tahu kapan bisa mewujudkannya. Tapi jika melihat dengan apa yang sedang menjadi kesibukanku saat ini berkutat dalam kepenulisan, membuatku perlahan melupakannya sejenak sampai Tuhan berkehendak.”

Lagi-lagi aku tersadarkan dengan standard yang selama ini menjadi kekuatanku. Standard yang dianggap orang lain mungkin tidak berharaga. Karena bagiku, hidup menurut standard diri sendiri itu bisa membuatku lebih mengeksplore apa yang menjadi kelebihanku.

Aku teringat dengan nilai yang pernah kudapat dari aku kecil sampai di tingkat SMA. Beberapa kali saat sekolah dasar, aku mendapatkan rinking pertama. Bakso adalah makanan yang selalu aku minta sebagai hadiah, ketika ibuku bertanya tentang apa yang aku inginkan. Di sekolah menengah pertama aku juga sempat mendapatkan rinkign pertama, juga beberapa kali masuk tiga besar saja sudah sangat bersyukur. Namun sayangnya, saat nilai akhir ujian aku tidak bisa menjadi salah satu dari 10 besar. Meski guruku juga menyayangkan, tapi itu hasil yang bisa kupersembahkan untuk keluargaku. Bahkan aku tidak menyangka nilaiku masih bisa masuk ke sekoah favorit.

Bukan pilihan yang pertama memang. Karena sekolah kejuruan bidang animasi adalah keinginanku. Hanya saja saat itu, sekolah dikejuruan masih terbilang mahal bagi keluargaku. Aku pun terpaksa harus mengikuti saran dari orangtuaku.

Rinking pertama, kedua, sepuluh besar, 50 paralel sampai bisa mendapatkan kesempatan bimbingan gratis dari sekolah karena menjadi salah satu siswi yang berkesempatan untuk mengikuti olimpiade, meski akhirnya aku tidak terpilih. Dan berbagai macam hal yang sebenarnya bisa mendukung aku bisa kuliah, itu semua tidak bisa membuat keputusan ibuku berubah.

Aku sadar karena dalam pemenuhan mimpi, biaya juga adalah hal utama yang dibutuhkan. Melewatkan berbagai macam test karena sejak awal tak ada rencana untuk kuliah, membuatku merasa sangat kecewa dengan keputusan ibuku. Tapi bagaiamanapun juga, aku tidak ingin membantah ibuku. Aku sendiri juga tidak mau merepotkan ibu yang terkadang harus pontang-panting, kalau ayahku harus vakum dari pekerjaannya saat sakitnya kambuh.

Pilihan bekerja adalah keputusanku setelah beberapa bulan lulus dari SMA. Dengan gaji yang bagi orang lain tak cukup, tapi bagiku tak ada cara lain. Aku harus tetap berjuang meski aku tidak tahu jalan seperti apa yang diberikan Tuhan untukku. Bayangan untuk kuliah sejenak pudar dari pikiranku.

 

Mengalah bukan berarti kalah. Ungkapan itu pasti sudah menjadi prinsip bagi setiap kita yang mengutamakan kepentingan orang lain dari diri sendiri. Seperti halnya diriku yang harus menahan diriku untuk belajar menerima apa yang diberikan orang lain terhadapku. Terlebih dari ibuku sendiri.

Kali ini tawaran pekerjaan datang dari temanku yang sekarang bekerja di luar provinsi denganku. Dia menawari pekerjaan itu, karena sepertinya cocok denganku. Sayang, jaraknya harus terpisah dengan ibuku serta keluargaku.

“Apa jika kamu benar ke sana, kamu bisa hidup di kota besar, dengan segala keramaian di sana?”

“Tapi setidaknya, Gisa nanti bisa punya pengalaman, Bu. Gisa juga masih muda. Apalagi ini pekerjaan datang dari teman Gisa sendiri.”

“Apa temanmu itu memang menetap di sana? Apa tidak ada rencana untuk dia pindah atau pergi kemana? Apa kamu bisa hidup sendirian, jika teman itu pindah pekerjaan atau semacamnya?”

 

Berbagai macam tawaran pekerjaan kutolak semua karena banyaknya pertimbangan dari dalam diriku? Apa aku tidak butuh uang? Apa aku tidak bisa hidup di luar kota? Apa selamanya pekerjaanku seperti ini?

 

Inign rasanya berkata seperti itu secara langsung, tapi hatiku lebih tak tega.

“Haahhh ....” Hela nafasku kubuang di dalam diriku.

 

Entah sampai kapan sikap ibu seperti itu?

Apakah selamanya aku akan hidup dalam bayang-bayang nasihat yang selalu kujadikan pilihan utama?

Apakah aku tidak berhak mencoba memberanikan diri mengambil keputusan dengan pilihanku sendiri?

Bukankah setiap tindakan ada konsekuensinya?

Jika aku tidak pernah mencobanya, kapan aku bisa menunjukkan, kalau sebenarnya pilihanku ini beda dari orang lainnya?

Kapan aku bisa merubah pikiran ibu yang negatif itu?

Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakannya: “Apakah karena ini akibat kisah masa lalumu, Bu?”

Namun lagi-lagi, aku hanya mampu mengungkapkannya dalam heningku. Dalam ucapan yang tak ingin aku dengarkan, yang akan membuatmu terluka nantinya, Bu.

 

TTT

 

Temanku yang setelah menikah berada di ibukota, memposting foto seseorang yang bagiku dalam segi penampilan, ok juga.

 

Nana

Eh, itu siapa, Na?

Itu temanku, Gis. Gimana? Masih jomlo dia. Hehehe ....

Iya, sih. Tadi aku lihat di caption-mu.

Lihat selengkapnya