Belum lama ini aku mendapatkan kabar, jika nenek dari ayah kandungku sakit keras. Bisa dibilang keadannya sudah sangat kritis. Memang sebagai seorang cucu, aku termasuk cucu yang tidak pernah menjenguk nenekku. Karena bagiku: untuk apa?
Bukan ingin memutus tali keluarga meski ayah juga ibuku bercerai. Tapi aku hanya menganggap beliau adalah ibu dari ayah kandungku; bukan seseorang yang harus kukunjungi atau beri perhatian setiap hari.
Dalam kamus hidupku, perpisahan saat aku kecil tak memberikan kenangan indah apa pun dalam diriku. Perasaan kecewa saja yang kuingat darinya.
Ingin rasanya aku tidak datang ke sana; ke tempat di mana nenekku di rawat oleh adiknya, semenjak beliau sakit parah. Tapi aku juga masih memiliki hati nurani. Sebelum sakit parah pun, dalam setahun aku datang saat hari raya saja. Lagipula, aku masih ingat untuk datang ke rumahnya, itu sudah lebih dari cukup, kan?
Aku datang ke rumah itu bersama dengan temanku yang juga bertetangga dengan nenekku. Sesampainya di sana, aku sudah melihat nenekku yang sudah tidak mengenali siapa pun. Bahkan untuk melihatku, beliau sudah tidak sadarkan diri. Hanya rintihan hembusan nafas tak beraturan yang kudengarkan.
“Kamu, tidur di sini ya, nungguin nenek kamu. Lagi pula ayah kamu juga dalam perjalanan mau ke sini,” ucap adik neneku.
“Maaf, Buk. Gisa nggak bisa. Besok harus kerja soalnya,” jawabku seraya tersenyum, supaya tak terlihat menolak dengan sengaja. Meski nyatanya memang seperti itu.
“Kalau gitu, kamu pulangnya nunggu ayah kamu saja.”
Aku hanya menjawab dengan senyum datar lagi. Bagaimanapun juga, aku harus tetap menghargai apa yang disarankan oleh adik nenekku. Meski sebenarnya, aku tidak ingin bertemu dengan ayahku.
Dalam darahku mengalir juga darah ayahku.
Dalam tidak tahunya aku tentang siapa yang mengusulkan siapa namaku.
Dalam tidak tahunya aku, apakah aku pernah diberikan wejangan pada saat itu?
Dalam tidak tahunya aku, apakah ayahku sebenarnya tak ingin meninggalkanku,
Atau memang iya?
Dalam tidak tahunya aku akan, bagaimana perasaan ayahku saat menikah dengan wanita lain?
Dalam tidak tahunya aku jika aku harus ikut dengan ibuku, bukan ayahku.
Dalam tidak tahunya aku apa penyebab sebenarnya mereka bercerai
Dalam tidak tahunya aku, mungkin karena alasan apa keluarga ibu atau pun ayahku menutupi hal yang sebenarnya.
Dalam tidak tahunya aku, mungkin aku selama ini dibohongi oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya?
Dalam tidak tahunya aku, aku harus hidup dalam perasaan dendam dengan ayahku.
Tanpa aku sadari mungkin ada sesuatu yang tersembunyi yang tak kuketahui.
Dan kini enggan untuk kuketahui lagi.
Ayahku datang bersama dengan keponakanku. Baru kali ini aku melihat dari jarak dekat dan bicara lumayan lama dengan beliau.
“Kamu masih kerja di toko itu?”
“Iya, Pak.”
“Kenapa nggak nyari kerjaan lain?”
“Sudah nyaman di situ,” jawabku singkat.
Rasanya tak ingin bercerita atau pun menjawab pertanyaannya. Tapi aku harus tetap menghargai beliau. Bagaimanapun juga ia ayahku.
Apakah aku mirip dengan wajahnya? Apakah sikapku sama dengan beliau yang memang pendiam? Apakah dia tidak merasa rindu dengan diriku yang puluhan tahun tak dilihatnya sedekat ini?
Meski ini bukan pertemuan yang pertama kali, tapi tetap saja ini asing. Mungkin juga baginya.
Kala itu, saat adik ayah kandungku masih hidup, saat ada acara dikeluarga besar ayahku, aku berada tepat di depan ayah kandungku sendiri yang tak kusadari jika itu beliau.