Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #16

Peluang bagi yang Berjuang

“Apa sekarang Bastian beneran pacaran sama Aca? Kenapa foto mereka seperti foto prewedding?”

Sebelum aku berpikiran seperti ini, aku melihat story Bastian juga Aca mengarah hal yang sama.

“Tapi kenapa ada yang aneh dengan diriku? Bukankah aku setuju dengan hubungan mereka berdua?”

Belum lama ini, aku juga Aca ada project untuk mengisi pensi di salah satu kampus di kota kami. Dari kelima personil, aku dan Aca perempuan, tiga lainnya laki-laki. Aku teringat Aca menceritakan kedekatannya dengan Bastian. Saat itu, Aca memang belum tahu aku berteman dengan Bastian. Dan hubunganku dengan Bastian pun hanya sekedar teman curhat saja; tidak lebih. Bahkan aku juga mendukung kedekatan keduanya. Tapi entah kenapa ada yang mengganjal dalam benakku.

 

 

Mawar

Kak, udah tahu belum kalau Kak Bintang tunangan hari ini?

Iya, aku udah tahu, kok.

Yang sabar, ya, Kak.

Aku nggak bermaksud buat Kak Gisa sedih.

Pasti Tuhan kasih yang terbaik buat Kak Gisa.

Sebelum kamu bilang, aku udah tahu kok, Dik.

Bintang juga nggak buat story, kok.

Atau bisa saja dia buat, hanya saja aku di privasi olehnya.

Aku tahu dari story teman-temannya.

Tetep semangat, ya, Kak.

 

Aku dan Aca larut dalam latihan yang mengharuskan kami untuk tetap fokus. Kami berdua memilih membenamkan isi kepala kami dalam senyuman keterpaksaan yang tersamarkan. Aku pun tak bisa menghindari rasa patahku yang berkali-kali lipat. Antara pertunangan Rama juga balasan dari Dava yang seperti tak menghargai apa yang kuperjuangkan untuk ulangtahunnya.

Nomor telvon dari jasa antar barang menghubungiku, jika ada barang yang alamatnya tertuju pada tempat kerjaku.

“Itu pasti hadiah yang udah aku tunggu-tunggu.”

Aku melihat kurir itu membawa kotak kayu lumayan besar.

“Itu apa, Mas, kok, wadahnya kayu?”

“Aku juga nggak tahu, Mbak. Mending periksa sendiri.,” jawab Mas kurirnya dengan tersenyum padaku. Karena dia sudah sering mengirimkan paket ke tempat kerjaku, jadi kami sudah lumayan kenal.”

Aku tahu jika itu hadiahnya ponsel, sesuai dengan ketentuan juara pertama mendapatkan hadih tersebut.

“Tapi aku baru tahu, jika membungkusnya sampai seribet ini? Untuk mengantisipasi supaya nggak ada kerusakan kali, ya?”

Aku kesulitan untuk membukanya, sampai meminta bantuan ke pekerja las samping tempat kerjaku untuk membukanya.

Pulang kerja, hadiah tersebut kutunjukkan pada orangtuaku.

“Bu, ini hadiah dari aku menang lomba menulis.”

Aku melihat ibuku tersenyum memeriksa ponsel yang kudapatkan.

“Nggak sia-sia Bu, dari setiap kompetisi yang kuikuti, akhirnya juara pertama juga.”

Maafkan aku bu, jika aku belum bisa buat ibu bangga seperti anak-anak pada umumnya. Mereka mungkin sudah menjadi PNS, punya karir yang bagus bahkan bisa beli rumah atau mobil sendiri. Punya suami dan keluarga yang bahagia. Sedangkan aku masih berjuang mati-matian untuk impianku ini. Tolong bertahan sampai aku bisa membuat ibu dan ayah tidak bekerja lagi; di rumah saja menikmati masa tua.

 

Dalam setiap pertandingan, kita tidak bisa selalu menjadi pemenang.

Kita juga tidak tahu percobaan ke berapa akan berhasil, dan tidak menjadi pihak yang kalah untuk kesekian kali lagi

Tapi kembali lagi, kita juga harus paham arti berjuang yang sebenarnya.

Bukan hanya kemenangan yang menjadi fokus utama saja,

Lihat selengkapnya