Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #17

Impian VS Cinta

Kenangan kesempatan pergi ke salah satu radio di kota besar, di mana pada awalnya aku hanya mengagumi dan mendengarkan saja dari radio, justru bisa ke studionya secara langsung.

Bisa dibilang caraku super nekat. Berawal dari pertemuan dalam sebuah acara yang mengenalkanku dengannya, justru berujung pada menyukainya secara sepihak. Rasa penasaranku terhadap kehidupannya, juga apa yang dikerjakannya selain dia menjadi seorang penyiar radio, membuatku hampir setiap hari menghubunginya melaui pesan teks yang kukirimkan padanya. Meski dengan balasan seadanya, cuek dan tak ber-emoticon.

Karena aku sadar aku tidak mungkin bisa bertemu dengannya kembali, aku sampai memutuskan ingin mendatanginya ke studio radio secara langsung. 

Perjalanan pertama yang sangat menegangkan harus berkendara di tengah kota besar dengan pengalaman pertama mengendarai sepeda motor sendiri, membuatku harus mengalami selisih paham dengan ibuku. Izin yang sangat sulit kuperoleh bahkan sampai hari H aku mau berangkat bersama saudara juga temanku; kami bertiga. Untungnya saat hari H keberangkatan, kami bisa diantar kedua teman kami yang mau kuliah ke sana. Setidaknya mereka bisa menunjukkan jalan ke kami kami akan bertemu dengan crew radio yang akan menjemput kami.

Alhasil dengan pertimbangan yang sulit, ibuku pun memperbolehkan dengan syarat: harus hati-hati. Jangan jauh-jauh dari motor saudara juga temanku.

Masih tak percaya dan seperti mimpi pertemuan kedua kali dengan Kak Yoga bisa terwujud. Berjabat tangannya dan menatap wajahnya di depanku secara langsung. Mungkin hanya berjarak tak ada satu meter.

 

Mengagumi seseorang membuat kita melakukan hal konyol tanpa diduga.

Membuat kesalahan yang seharusnya tak harus dilakukan.

Tapi apa daya hati tak bisa tuk disangkal.

Semua mengalir begitu saja.

Perbuatan sekecil apapun yang nampak di depan kita pun rasanya sangat berharga.

Ciptaan Tuhan yang selalu kita semogakan.

Yang entah sampai kapan kan merasa?

 

Pengalaman patah hati karena tak mengindahkan nasihat ibuku saat aku memperjuangkan perasaanku pada kak Yoga, membuatku merenungkan lagi dan lagi keputusanku untuk menerima tawaran temanku.

“Tapi setelah pertemuan kedua dan ke tiga, aku akhirnya nyatain perasaanku ke dia. Dan aku harus terluka melihatnya menikah setahun yang lalu, Kak.”

“Hahaha... yang terpenting kamu, kan, udah nyampein perasaan kamu.”

“Pengalaman seumur hidup yang nggak bisa aku lupain. Karena nggak akan tahu bakalan ke sana kapan lagi. Kini justru mendapatkan kabar dia sudah menikah.”

“Berat-berat, emang. Hahaha ...” tawa Kak Niki menghiburku.

“Kak Niki ....”

“Iya,” jawabnya sambil masih tersenyum ke arahku.

“Tapi ada seseorang yang saat ini tak pernah pergi dari kehidupanku, Kak. Dia selalu ada bahkan di saat aku ada masalah, dia yang selalu kuingat.”

“Siapa? Bastian?”

“Iya, Kak.”

“Aku, kan, dulu udah bilang sama kamu. Coba kamu buka hati buat dia, Gis.”

“Tapi, Kak. Dia lebih muda dariku.”

“Tapi kamu sendiri bilang kalau pemikirannya dewasa, bukan? Oh iya, aku juga mau memperjelas saja ke kamu. Perawat itu apa kabar?”

“Em ... sepertinya ... aku harus mengikhlaskannya, Kak.”

“Kenapa lagi?”

“Hadiahku kemarin aja cuma dianggap biasa. Kalau saja aku tidak WA dia, pastinya dia nggak bakalan ngasih ucapan makasih mungkin. Semenjak itu aku sangat kecewa padanya, Kak. Oh, iya. Aku punya kenalan baru dari Nana teman kita dulu, yang sekarang tinggal di Ibukota. Mungkin keputusanku untuk merantau bakalan terjadi.”

“Tapi gimana dengan tanggung jawab tugasmu sebagai ketua dan tenaga pengajar di sini?”

“Itu dia yang menjadi pergumulanku, Kak. Aku aslinya capek juga menghadapi teman-teman kita yang susah sekali diajak berpikir bersama. Aku nggak butuh orang-orang yang cakap atau pintar. Setidaknya dia mau diajak kerjasama itu udah cukup bagiku. Kak Niki juga lihat sendiri, kan? Seperti apa yang kukerjakan tidak pernah dihargai. Tapi ya seperti Kak Niki tahu, sulit sekali dapat izin dari ibu. Mungkin karena aku juga anak satu-satunya ibu, Kak.”

 

Lebih memilih mengalah sepertinya selalu ada dalam kamus kehidupanku.

Bahkan mengenai kepentingan orang banyak pun aku harus sering kali memutar otak.

Bagaimana mengolah kepentingan pribadi juga pemenuhan tanggung jawab yang harus dilaksanakan.

Meminta pendapat dan syarat oranglain pun tetap kembali pada diri sendiri; kembali lagi berpikir sendiri dan harus memutuskan sendiri.

Lihat selengkapnya