Kurang lebih 14 tahun sudah aku menunggu kakak tiriku bisa menerima ibu juga diriku dalam keluarganya. Kini ia juga bersedia untuk berbagi apa yang dimiliki ayah kami. Aku pun juga mulai percaya padanya. Aku berharap dia tidak mudah percaya dengan perkataan orang lain, apalagi tetangga kami yang selalu ingin memecah keluarga kami.
Sebisa mungkin, ayahku selalu menguatkan ibu. Aku juga belajar untuk kuat dari ibuku. Perlahan, waktu juga yang membuktikan. Kehidupanku sebagai keluarga yang utuh pun mulai kurasakan. Meski tak bisa dipungkiri, terkadang rasa mengalah tetap ada. Tapi aku dan ibu sudah sangat bahagia kelaurga kami akhirnya bisa seperti keluarga lainnya. Juga melihat tumbuh kembang dua keponakanku yang adalah semangat dari ayahku.
Tanggung jawab yang kuemban sebagai seorang ketua dan tenaga pengajar juga tetap aku jalani sampai sekarang ini. Aku masih tetap bertahan dengan masih bersama keluarga disampingku. Tidak kemana-mana. Karena aku sadar, impianku ada bersama dengan keluargaku. Bukan karena zona nyaman. Namun aku memahami satu hal: Kebahagiaanku adalah di sini, ditempat di mana aku justru harus banyak berjuang.
“Untuk masalah pasangan hidup yang masih kuperjuangkan, aku harap, ibu juga keluargaku bisa mengerti apa pilihanku sampai saat ini. Hidup di bawah standard orang lain justru membuatku bisa menemukan kebahagiaan serta impianku bersama dengan keluargaku.”
Sketsa gambar yang kubuat, kutunjukkan pada ibuku. Bukannya menjawab, kulihat mata ibuku berkaca-kaca. Dadaku terasa sesak, meski hanya dengan hal sederhana saja.
Ibu, ayah ....
Sampai saat ini, dan bahkan sampai kapan pun,
Apa yang kalian berikan untukku takkan bisa kuganti dengan apa pun.
Bahkan dengan mutiara atau pun emas termahal dari belahan bumi manapun.
Aku sadar, setiap kali aku melihat teman-temanku berhasil dalam karirnya, pendidikannya, keluarganya, seringkali membuatku merasa rendah diri.
Aku sering merasa bingung, dengan hal apa yang bisa buat ayah juga ibu tersenyum melihatku.