Pulang kerja malam hari ini sperti biasanya aku memakirkan motorku di ruang tamu. Kuhidupkan lampu kamar dan kuletakkan tas ranselku di meja. Baru saja menghela nafas, terlihat ayah ibuku masuk ke dalam kamarku. Aku tak berpikir akan ada apa. Tapi ternyata, sesuatu yang membuat rasa lelahku seribu kali bertambah.
“Nak, Kamu punya nomornya Alex?”
“Punya, Yah. Gimana?” Kulihat ibuku melihat dan tersenyum ke arahku; dari celah pintu kamarku yang setengah terbuka.
“Kamu pernah WathsApp-an sama dia? Atau dia pernah kirim pesan ke kamu?”
“Pernah, Yah. Kan dia temanku. Ada apa ya, Yah?”
“Kemarin saudaranya bicara sama ayah, jika sebenarnya dia punya harapan sama kamu. Gimana misalnya kamu nikah sama dia?”
“Apa? Maaf, Yah. Gisa nggak bisa seperti itu. Ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi. Lagian, dia cuma Gisa anggap sebagai teman.” Sontak jawabanku keluar begitu saja, yang mungkin menyakiti persasaan kedua orangtuaku. Tapi bagaimana lagi? Itu yang terlintas dalam pikiranku.
“Dia, kan, udah mapan, Nak. Kamu mau nyari yang seperti apa? Apa kamu tidak mau mendengarkan kami sebagai orangtuamu? Yang kamu cari seperti apa lagi?” ucap Ibu menambahkan perkataan ayahku.
“Gisa baru aja masuk rumah loh, Bu, Yah. Kenapa sudah diberikan pertanyaan seperti ini? Pernikahan bukanlah sebuah pertandingan. Semua orang punya waktuya sendiri. Kalau misalnya teman-teman Gisa sudah menikah, bukan berarti detik ini, Gisa harus menerima siapa saja yang ingin menikahi Gisa? Gisa nggak bisa dibuat seperti itu, Bu.”
“Ya, sudah terserah kamu. Kalau kamu tetep kekeh bisa mencari jodoh sendiri dengan kriteriamu sendiri.”
Setelah berkata seperti itu, ayah dan ibuku keluar dari kamarku. Seketika air mataku runtuh. Aku terdiam dan berpikir sangat panjang ke depan. Rasa lelah menghadapi pertanyan dari teman-teman saja diriku seakan tak punya peluru lagi untuk menghentikan. Kini justru datang dari orangtuaku sendiri yang memintaku seperti itu. Apa salahku sehingga harus menerima pernyataan seperti itu?
“Asal ibu dan ayah tahu. Aku seperti ini bukan karena aku tidak ingin menikah. Aku hanya ingin membuat ibu dan ayah bisa istrirahat di rumah; tidak terus bekerja sampai tua. Aku masih memperjuangkan impianku. Bukan berarti aku mengabaikan ibadahku untuk menunda kapan waktu menikahku.”