Di bawah Standar

Era Chori Christina
Chapter #2

Story

Pintu rolling door tempat kerjaku telah terbuka. Baru sebentar saja kusiapkan segala keperluan untuk memulai aktivitas pekerjaanku, sudah ada saja yang membawa beberapa file dalam tangan mereka untuk di fotocopy. Iya. Sejak tahun 2016 lalu, aku bekerja di sebuah toko juga tempat fotocopy, milik ketua sekolah minggu di gerejaku. Pekerjaan yang mungkin bagi pandangan sebagian besar orang adalah pekerjaan yang tak memiliki masa depan karena gaji pas-pasan.

Tak berselang lama, kudapati ada mobil warna hitam yang terparkir di depan tempat kerjaku.

“Mbak, beli minuman.”

Tenyata dia adalah teman yang dulu pernah kerja bersamaku di tempat yang terdahulu, sebelum aku bekerja di tempat ini. Sekarang dia sudah menikah, memiliki seorang anak dalam gendongannya, juga mobil dari hasil usahanya. Aku mencoba untuk tetap fokus memberikan pelayanan padanya. Senyuman ramah kucoba untuk menutupi segala rasa iri yang terpintas sejenak dalam pandanganku saat itu.

Jejaknya masih tertinggal ketika kulihat mobilnya mulai menjauh dari tempatku berada. Kuambil ponsel dan kulihat beberapa story yang semakin membuatku muak menatap isinya.

“Kenapa isinya orang nikahan sama baby semua? Oh ini lagi. Berbagai postingan dari baju dewasa sampai pakaian anak.”

Aku menengadahkan kepalaku dan menghela nafas panjang. Kuletakkan ponselku kembali ke laci meja kerja.

Seraya menunggu pelanggan yang datang, aku membuka halaman MS.Word yang kusimpan dari kemarin. Kulanjutkan kembali mengetik naskah yang rencananya akan aku posting setiap episode-nya di salah satu laman menulis novel online. Bukan bayangan huruf yang muncul di layar komputer, tapi pikiran yang kembali mengingat tampilan story; yang baru kulihat beberapa menit lalu. Jujur saja ini sangat tidak nyaman bagiku.

Daripada kuhabiskan waktu menatap layar komputer yang semakin menambah pedih mataku, kualihkan audio komputer ke beberapa lagu Korea dan Jepang favoritku. Kuambil sketchbook juga pensil gambar. Dengan iringan mengalun di telingaku, membuat imajinasiku mengalir mencurahkan segala keresahan dibalik pensil yang kugoreksan di atas sketchbook. Sejenak itu mengusir rasa gundahku.

TTT

 

Budaya memegang ponsel sudah berlarut-larut dilakukan hampir seluruh manusia di belahan dunia ini. Dari anak-anak sampai kakek-nenek. Tiap detiknya tak pernah lelah untuk sekedar memposting kebahagiaan, kegalauan, pencapaian atau lainnya untuk mendapatkan penerimaan atau pujian dari orang lain.

Malam hari adalah waktu untuk merebahkan diri. Menjadi saat untuk bangkitnya overthinking yang justru membuat begadang tak bisa kuhindari. Menatap layar ponsel, menggesernya berkali-kali. Terlihat tampak kebahagiaan manusia di luar sana yang membuatku kembali membayangkan: Kapan aku ada di posisi mereka?

Dari pada menambah rasa iriku, kulihat postingan berbau kalimat motivasi. Kudapati kalimat itu membuat bibirku bergerak melengkung sendirinya tanpa kupaksa.

“Yah. Lagi-lagi aku hanya terjebak dalam kebahagiaan semu yang hanya indah di depan mataku saja.”

Kulihat jam dinding di depan kamarku terus bergerak arah jarum jamnya. Pikiranku masih saja enggan terpejam. Kuputuskan untuk menghidupkan lampu ruang tamu. Dini hari itu aku memilih mengeluarkan kegundahanku dari kepalaku. Setidaknya bisa mengurangi energi yang akan kubuang esok hari jika semangatku belum kembali.

Kulihat kedua orangtuaku terbaring dalam petiduran mereka. Entah, apakah mereka sama denganku; mata terpejam tapi pikiran masih berjalan? Atau memang sudah tertidur pulas? Aku teringat dengan waktuku dan mereka yang tak banyak di bumi ini.

Salah satu hal yang selalu membuatku bersyukur adalah adanya kematian yang selalu mengingatkanku bahwa hidup ini harus berguna.

 

TTT

 

Hari dimana kemah bersama antar pemuda tiap kelompok tiap maing-masing yang sudah ditentukan panitia dan para aktivis sudah hampir tiba. Segala persiapan mulai dilakukan. Tapi sore ini, kak Rama tak hadir dalam rapat checking akhir. Berkali-kali kulihat pintu masuk ruang pertemuan. Namun sampai rapat hampir setengah jalan, kak Rama tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

 

Kak Rama

Gis, tolong nanti aku kirimin apa aja yang perlu disiapin untuk keperluan kemah, ya. Soalnya hari ini ada hal yang bersamaan dengan rapat sore ini. Makasih, yah.

Lihat selengkapnya