Di Belahan Hati Yang Lain

Vitri Dwi Mantik
Chapter #1

Di Petang Yang Panas

Petang yang panas itu rupanya telah membuat setiap orang di Ol' Flame Cafe seketika menjadi delusional.

Suara bising kendaraan sesekali terdengar setiap kali pengunjung baru memasuki pintu. Bunyi klakson tak bisa dihindarkan berulang kali menembus ruang berdinding kaca di satu sisi itu. Seperti tidak cukup sejuk dengan sistem pendingin udara yang ada, pengunjung tampak gelisah dan tersirat kecurigaan satu sama lain. Bunyi dentingan piring menyahuti nada sentimen sendok dan garpu para penikmat makan dari berbagai meja. Menempel di dinding kaca, sekelompok anak ABG tak bisa lagi meredam suara. Di pojok ruangan, sebuah keluarga tak kalah asyik saling mencicipi makanan dari piring satu sama lainnya. Sementara itu, di tengah ruangan, beberapa pasangan sedang mengobrol dengan pendamping wanita berkipas, saling melirik dengan gerah.

Di sebuah meja, di pojok dinding kaca, empat orang wanita berpenampilan elegan dan seorang laki-laki berpakaian kasual tampak bergairah dalam perbincangan mereka seputar artikel terbaru di majalah wanita sambil bermain UNO. Mereka memperdebatkan survei yang mengatakan ya atau tidak cinta sejati ditakdirkan untuk sehidup semati.

"Yea, persisnya seperti yang terjadi dengan Romeo dan Juliet," kata Utari skeptis.

"Itu adalah tragedi, dear...," kata Gendis enggan, tak bermaksud menepis keraguan Utari.

Pada dasarnya mereka memilih untuk tidak mempercayainya, tapi survei tersebut seperti menebar angin segar bahwa ya, 75 persen mereka akan berlabuh di bahtera pernikahan. Bahkan jika itu melalui perpisahan atau perceraian dengan pasangan pertama mereka. Atau mereka yang tidak merasa bahwa itu adalah cinta, selama terikat hubungan yang sakral, seperti dalam polemik rumah tangga, atau terperangkap dalam ranjang pernikahan yang lebih seperti kutukan, itulah cinta sejati. Tapi, sepertinya, tak ada yang benar-benar peduli lagi mana yang benar. Sederhananya karena, tidak satupun dari mereka yang merasa memiliki cinta sejati. Needless to say, everyone has an issue.

"Bagaimana bisa semati, kalau sehidup saja tidak pernah bertatap muka? Yang aku maksud adalah wajah yang sebenarnya." Kata-kata Sabitha tersebut menarik percakapan lebih lanjut. Sabitha lalu berpendapat, bahwa dalam banyak kasus, hubungan yang langgeng antara suami dan istri, meski setia, bukan berarti memiliki cinta sejati. Bukan berarti mereka tidak menyimpan rahasia. Tapi, demi kedamaian di bumi, mereka memilih tidak membuka suara. Sebuah pernikahan yang langgeng tetap tidak menjamin kesejatian cinta, karena, who knows, di kehidupan setelah mati mereka, mereka dipertemukan dengan kekasih sejati mereka. Oleh sebab itu, dia mengungkapkan ketidak mengertiannya kenapa masih banyak orang menyelinap ke dalam hubungan orang lain. Itu adalah skenario terburuk untuk sebuah hubungan. "Itu bukanlah cinta sejati tapi perskandalan!"

"Tapi... Sejatinya cinta, kan saling mengasihi? Mungkin saja, pelaku skandal itu lebih mengasihinya," kata Erlan yang masih keukeuh dengan pendiriannya, dia yakin bahwa setiap orang masih bisa menemukan cinta sejatinya. "Seseorang itu masih bisa mendapatkan kembali cintanya yang direbut, atau menjelaskan bahwa dia lebih berharga dari sebuah perselisihan kecil yang mereka lakukan. Kecuali kalau kamu lebih suka dengan Dido's Lament."

Tak ada seorang pun yang pernah mendengar Dido's Lament. Erlan pun menjelaskan dengan singkat, bahwa itu adalah sebuah pertunjukan opera yang menceritakan ratapan seseorang yang mencinta hingga dia merelakan takdirnya untuk dilupakan. Tidak seorang pun menyukainya. Terutama Sabitha yang tak yakin dengan skenario terakhir cintanya itu, cepat-cepat menepisnya dengan mendengarkan pembicaraan dari yang lain.

Gendis lebih setuju cinta sejati adalah seperti sebuah pelabuhan kasih dua pasang anak manusia yang saling melengkapi kekurangan dan kelebihan satu sama lain pasangan, menerimanya dengan perasaan senang atau tidak dan tetap berjuang demi kebahagiaan mereka berdua. Meskipun mereka menyadari ada motif saling mencari keuntungan.

"Yang penting, selalu indah, bukan?" kata Gendis sambil menunjuk muka Sabitha yang sesekali berharap-harap cemas. Sepertinya, ungkapan Gendis lebih berbicara untuk dirinya sendiri daripada Sabitha.

Adu pendapat itu masih sengit, ketika Noire mengklaim, sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap hubungan, khususnya pernikahan, semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dan untuk mengimbanginya, tidak selalu harus didapatkan dari partner tersebut. Dia mendukung ide polymory backan polygamy sampai seseorang dari mereka menjadikan dirinya sesuatu yang dipertahankan, hingga tiba pada fase yang lebih bermakna, seperti melangsungkan pernikahan atau membesarkan banyak anak. Semua memberikan masukan untuk hal yang terakhir ini, kecuali Sabitha, satu-satunya wanita yang berstatus single di sana.

Lihat selengkapnya