Seminggu ini Sabitha tampak kusut. Wajahnya pucat, tak seperti biasanya. Ia yang selalu mengoleskan make-up lengkap di wajahnya, kini bahkan tak mengenakan foundation sekalipun. Hanya lipstik saja yang mewarnai bibirnya yang manyun itu. Ia juga beberapa kali datang terlambat ke kantor. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ruang kerjanya tak tertata rapi, bertumpuk-tumpuk buku kuliah di meja. Nyaris tak ada cahaya yang masuk ke ruangan itu. Semalam ia lembur dan nginap di ruang kerja kantornya ini. Utari mengernyit aneh melihat selimut yang terhampar di sofa. Setumpuk tas baju dan setrika tergeletak di lantai.
Tanpa membalas sapaan selamat pagi dari Sabitha, Utari memanggil squadnya, yang segera berbondong-bondong masuk menerobos ruang kerja Sabitha.
"Apa yang terjadi denganmu?! Rambutmu kusut, mukamu pucat. Sudah seminggu kau nggak mau hangout. Gimana dengan kuliahmu?"
Sabitha melenguh. "Aku nggak yakin. Mungkin cuaca saja yang aneh. Aku nggak kuat dengan terik di luar. Kuliah baik-baik saja.”
"You're so adorable, tapi, please, pertahankan penampilanmu... Itu juga penting untuk pekerjaan kantor. Kau membawahi banyak karyawan dan menerima banyak kunjungan klien setiap hari." Raut wajah Utari tampak cemas.
"Mungkin kamu perlu baju kantor baru... Kamu tampak…lusuh…," Kata Gendis usul, hat-hati. Ia mengenakan baju elegan terbarunya.
"Bukan! Tapi, facial... Wajahmu saja yang kelihatan tirus... Mungkin dari kebanyakan belajar untuk persiapan ujianmu," kata Noire memperhatikan. Wajahnya yang kencang dan selalu bersinar itu nampak makin cerah bergairah aja dalam seminggu ini.
"Nah... I'm fine... You don't need to worry about me. Sorry, I gotta go to meet the client. And I'm running out of time."
Sabitha membuka ponselnya, mematut diri di depan kamera lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Ketiga sahabatnya saling berpandangan satu sama lain.
"Apa Sabitha nginep lagi di kantor tadi malam?"
Utari mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan tersebut.
"Aku nggak tahu..." Utari melengoskan wajahnya ke arah rak dinding, lalu menunjuk barbel yang terdapat di sana. "Hey...! Sejak kapan dia berolahraga?!"
Gendis menepiskan tangannya. "Dia memilikinya bertahun-tahun tapi nggak pernah tersentuh kecuali oleh debu..."
Utari bergerak ke arah meja kerja Sabitha. Tiba-tiba, ia tampak kaget melihat sebuah map pada desktop-nya.
"Hey, siapa Jericho Ali?"
Noire dan Gendis segera menghampiri. Utari menunjukkan sebuah map di desktop dengan nama Jericho Ali.
"Mana ku tahu? Coba, buka saja!"
Utari mencoba membuka file itu, tapi tidak bisa.
"Dikunci. Kau tahu kata kuncinya?" Tanya Utari.
"Kalau nggak salah, sih, 'gorgeous'..." kata Gendis mantap.
"Iya! Itu lagu favoritnya!" Seru Noire tertahan.
Utari menggeleng. Map itu tetap tidak bisa dibuka. Ia mengerutkan bibirnya serius sambil mengusap-usapnya. Ia membungkukkan dirinya dengan sebelah tangan menekan bibir meja, sebelah tangannya bertumpu di tangan Gendis.
"Dia selalu menyebut-nyebut kombinasi angka favoritnya, yaitu penambahan tiga angka dengan jumlah 20... Favourite things... Hm... Kurasa, dia pakai kata jeruk," kata Utari.
"Semua angka dia anggap favoritnya!" Kata Noire.
"Jeruk?!" Kata Utari meringis memperlihatkan wajahnya ke Gendis, sambil menekan meja.
"Ya... Jeruk... Pikirkan!" Kata Gendis sambil mengangkat minuman kaleng orange juice yang sudah dalam keadaan kosong di sebelah monitor. "Apa sirup yang selalu dihidangkannya untuk kita? Jus d’Orange! Apa yang kita nggak boleh makan dari cake buah-buahan kesukaannya? Jeruk!! Nggak usah disebutin lagi makanan wajib yang selalu dibawa-bawanya ke mana-mana... Ya, jeruk!!"
"Coba 299!" Kata Noire sambil angkat tangan, ia merekatkan kedua jasnya menahan gugup sambil memeluk Gendis.
Semua pandangan tertuju ke layar monitor dengan serius. Kepala mereka menggeleng.
"kau coba dengan angka 85, tahun kelahirannya...," kata Utari sambil menunjuk, jarinya ia kembalikan menempel ke mulut.
"Jeruk578," kata Gendis mengeja ketikan sambil lalu menekan tombol Enter. "Itu tiga angka hitungan favorit dia buat menghitung Uno!"
"Nah, nggak bisa...